Deklarasi Anti Syiah (khabarsoutheastasia)
Ini adalah tulisan ketiga dari rangkaian tulisan ihwal aksi pengkafiran Syiah dan sosok-sosok di baliknya. Tulisan pertama berjudul “Inilah Khomeini yang Mereka Kafirkan itu”, kedua berjudul “Khomeini, Revolusi Islam dan Kaum Pengkafir”, dan ketiga adalah tulisan ini. Ketiga tulisan itu bakal bersambungan dengan tulisan berseri tentang sisi-sisi gelap dan kontroversial sejumlah sosok yang tindak tanduk dan kegemarannya tak pernah lepas dari upaya mengkafirkan mazhab Syiah.
______________________________________________________________________
DI KEPALA Ahmad bin Zen Alkaf, Muhammad Baharun, Thahir Alkaf, Cholil Ridwan, Athian Ali, Abu Jibril, Bachtiar Natsir, Yunahar Ilyas, Ma’ruf Amin, dll perpindahan mazhab terjadi karena dua alasan: penyesatan dan iming-iming dunia. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebagian besar orang itu pindah mazhab karena tersesat oleh ‘propaganda Syiah’, dan sebagian lain pindah karena tergiur iming-iming ‘dana Iran’.
Bagi para pembenci, penghujat dan pengkafir Syiah, kalangan imigran mazhab ini adalah kerumunan orang sial, pandir, awam, naif, lemah iman, loyo mental dan sebagainya. Orang-orang ini tidak punya alasan rasional apapun untuk pindah mazhab, kata mereka. Di mata mereka, syiah adalah paragon massa mengambang, tidak mengakar dalam akidah Sunni, dan tidak kenal Islam. Dengan sedikit propaganda dan iming-iming dunia lah mereka lantas berbondong-bondong keluar dari Islam berpindah jadi Syiah, kata mereka.
Sampai di sini, tentu saja kita mudah mengendus bau takabur yang menyengat. Cara mereka merendahkan, meremehkan, menyesatkan, mengkafirkan dan menghantamkan sumpah serapah kepada umat Islam yang berpindah mazhab ini menunjukkan gejolak keras di ubun-ubun kemanusiaan mereka.
Ya, hasilnya memang penilaian yang keji dan zalim. Tapi, apa mau dikata? Inilah cara pandang asli kaum takfiri. Cara pandang ini lahir dari muntahan jiwa yang gundah, dada yang sesak dengan kebencian membludak yang, ironisnya, berhulu dari keraguan akan keyakinan mereka sendiri dan sebab-bebab fisiologis lain seperti kelebihan hormon antagonistik, kekurangan enzim dan, tak menutup kemungkinan, penyumbatan pasokan darah dan oksigen ke otak mereka. Semua faktor itu tentu saja masih harus ditambah dengan terbuka lebarnya dua pintu api neraka dalam jiwa mereka: prasangka buruk dan perasaan ujub. Prasangka buruk membawa orang merendahkan siapa saja di depannya dan ujub melahirkan perasaan kagum pada ilmu, sikap, perilaku dan karya dewek, dengan tetap mempertahankan sikap meremehkan siapa saja selain dirinya sendiri.
Ujung-ujungnya, sampailah mereka, gerombolan yang gemar mengkafirkan sesame Muslim itu, pada logika setan: jika banyak yang sepertiku maka aku akan aman; jika banyak yang mulai meninggalkanku, maka posisiku akan berbahaya; dan untuk memperbanyak orang sepertiku maka mau tidak mau aku harus memaksa atau menipu. Dan sungguh setan mengira semua selain dirinya berpikir dengan cara yang sama sehingga dia akan selalu menipu orang yang sejak semula menerima tipuan dan tidak akan bisa menipu siapa saja yang tidak mau ditipu, yakni mereka yang menolak kerangka penipuan yang dipakainya.
Begitulah sejatinya sejarah masa lalu dan masa depan setan: Dari dulu sampai kapan pun, pengikut setan tidak akan bertambah dan tidak akan pula berkurang. Sebab hakikatnya mereka adalah bayang-bayang dan dayang-dayang setan sendiri, sejenis duplikatnya dari jenis-jenis lain, yang memakai cara pikir dan sikap hidup yang sama dengan setan. So, penipuan setan sebenarnya cermin ketertipuannya sendiri, seperti saat dia mengira bahwa ‘api lebih baik daripada tanah’, padahal tidak pernah ada bukti sah yang membenarkan prasangka bodohnya.
Walhasil, penipuan itu sebenarnya tidak bergerak maju melainkan melingkar kembali ke titik awal: penipuan hanya akan menipu sang penipu sebelum korban lain ada yang dapat tertipu. Korban pertama para penipu adalah diri mereka sendiri.
Cara pandang di atas sungguh jauh berbeda dengan cara pandang yang Allah gariskan bagi orang beriman, sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 105);
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah bagimu. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min.dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.Hai Nabi, cukuplah Allah bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (Al-Anfal: 61-64).
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Alkitab ? Mereka percaya kepada jibti (setan) dan thaghut (sesembahan selain Allah), dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 51).
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra: 84).
Ayat-ayat itu singkatnya menggambarkan sikap orang beriman menghadapi kesesatan: tidak galau dan gentar; tidak koar-koar merasa paling benar; tidak blingsatan menghadapi kesesatan dan terakhir; selalu percaya dengan keindahan dan kecantikan jalan Allah dalam memberi petunjuk.
Nah, adakah sikap-sikap seperti itu pada para pengkafir itu?
Para pengkafir itu agaknya mirip seperti orang yang terserang sakit perut dan merasa lega dengan muntah atau buang air besar. Mereka mengira buang air besar dan muntah besar adalah ‘penyembuhan’, padahal penyebab penyakit tetap ada dan juga, bila tidak dibersihkan dengan benar, maka muntahan dan buang air itu justru dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit lain. Mereka mengira pagelaran penghujatan, penyesatan dan pengkafiran Syiah telah menyembuhkan mereka, padahal di mana-mana bau busuk yang menyengat yang sedang mereka tebar. Sayang seribu saying sebab mereka melakukan semua itu dengan membawa nama Islam dan Nabi Suci yang menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Maka itu, izinkan di sini kita bicara dari sisi lain, dari sisi yang lebih objektif, dari sisi para imigran mazhab itu sendiri.
Pada umumnya orang yang berpindah mazhab ini adalah pelajar, santri, aktifis, habib, peneliti dan masyarakat kelas menengah yang mata dan hati mereka terbelalak melihat revolusi Islam Iran tahun 1979. Mereka terheran-heran melihat Khomeini berhasil menumbangkan raja diraja Timur Tengah yang didukung penuh oleh Amerika Serikat dan Barat. Mereka terkesiap melihat jutaan orang tumpah ruah ke jalanan Iran untuk menyambut ajakan ‘nekat’ Khomeini untuk menumbangkan kediktatoran. Mereka lebih tercenung lagi ketika melihat bahwa semua itu dilakukan dengan cara, pola, slogan, yel-yel, dan sebagainya yang sepenuhnya Islam dan sepenuhnya bersumber dari saripati Tauhid.
Kemudian mereka menyelidik. Dalam masa itu, mereka menemukan seabrek buku para pemikir Syiah yang bercitarasa revolusioner, menyajikan Islam yang hidup dan menghidupkan, Islam yang gerak dan menggerakkan. Islam model ini tidak pernah mereka dengar di mimbar-mimbar Jum’at, di buku-buku pelajaran agama, di kampus-kampus UIN, di surau-surau pesantren, di pengajian-pengajian langgar dan sebagainya. Islam ala Khomeini itu begitu gagah menghadapi si zalim, menggebrak mustakbirin dunia, dan begitu menyentuh hati mereka yang terzalimi. Inilah Islam yang lahir dari darah Imam Ali yang syahid di mihrab, dari teriakan perlawanan Imam Husein di padang Karbala.
Islam inilah yang menyemburkan semangat baru, harapan baru pada Islam di kalangan Muslim kelas menengah kala itu—dan tentu sampai sekarang.
Lalu, pada saat yang sama, Iran sebagai negara juga tidak tinggal diam. Siapa saja yang tertindas dari kaum Muslim, ia akan datangi dan membantu. Dan yang paling banyak mendapat bantuan karena alasan-alasan ideologis dan emosional adalah bangsa Palestina—yang notabene bermazhab Sunni. Kiprah Iran di tanah suci tiga agama samawi itu jelas terbukti sudah. Demikian pula di Lebanon hingga sebuah Partai Allah lahir dan mekar menjadi yang pertama dan satu-satunya kekuatan Arab Islam yang mampu mengusir tentara Israel -- jauh sebelum Hamas mampu mengusirnya dari Gaza pada tahun 2004 juga dengan bantuan logistik, strategis dan taktik dair Iran. Ketika mujahidin Afghanistan di bawah pimpinan Ahmad Shah Massoud mengangkat senjata melawan penjajah Uni Soviet, Iran juga berada di garda depan untuk ikut membantunya. Bertahun-tahun setelahnya, dalam Perang di Bosnia-Herzegovina, Iran lah satu-satunya negara Muslim yang menurunkan sukarelawan perang demi meringankan nestapa Muslimin di negara eks Yugoslavia itu.
Khomeini. Khomeini. Khomeini. Sepanjang hidupnya, pemimpin revolusi Islam Iran itu juga tak henti-hentinya menginjeksi semangat tauhid dosis tinggi dalam tiap ceramahnya di masa-masa ketegangan perang delapan tahun Iran vs Irak. Saddam Husein, diktator Irak, kala itu adalah orang kesayangan seluruh raja Arab dan negara-negara Barat.
Publik dunia, termasuk mereka yang di Indonesia, melihat semua itu bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Siapa nyana, siapa sangka, Islam yang terlihat kuyu, lesu, penuh debu itu seolah mampu tegak gagah, tegap berkibar-kibar. Ini sesuatu yang sungguh menggairahkan.
Di saat dunia Islam seluruhnya, dari yang paling takfiri sampai yang paling moderat, dari yang paling wahabi sampai yang paling Sunni, bercumbu mesra dengan Amerika Serikat untuk mengusir Beruang Putih Rusia dari Afghanistan, Khomeini seorang yang lantang menantang Barat dan Timur sekaligus. La Syarqiyyah wa la Gharbiyyah, Jumhuriyyah Islamiyyah (Tidak Timur, Tidak Barat; Republik Islam), katanya.
Nah, sidang pembaca yang budiman, siapa yang tidak kagum dan bangkit dari kelesuan melihat semua itu? Hati Muslim mana yang tidak ikut berbunga-bunga menyaksikan kebangkitan kaum tertindas semegah itu? Harapan akan datangnya pertolongan Ilahi untuk menyudahi penghinaan kepada umat seperti sudah di depan mata, bak makanan yang sudah terkulum di ujung mulut. Manisnya kemenangan dan kehormatan itu terasa bagi orang-orang Muslim yang lama mendamba perubahan itu, termasuk di Indonesia, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pindah mazhab; siapa tahu barangkali itulah jalan membayar kemenangan dan kemuliaan.
Dari saat itu dan sampai sekarang, siapa yang dapat menyaksikan model pemerintahan yang lebih layak menyandang kehormatan Islam, kejayaan masa lalu Islam, janji-janji kemenangan Ilahi, dan panji-panji tauhid dibanding yang kini tegak di Iran? Akal jernih dan hati bersih mana yang mampu menolak keunggulan model Islam Iran disbanding, maaf, model ‘Islam’ Arab Saudi yang penuh dengan brutalitas terhadap sesama Muslim -- tapi demikian membebek pada AS dan Barat? Atau model Pakistan yang kini di ambang kebangkrutan dan perang saudara akibat salah urus dan korupsi yang merajalela? Atau model Afghanistan, yang sudah ‘terlalu lucu’ untuk dapat disebut sebagai negara-bangsa? Atau mungkin kini ada yang ingin mengusung model Islam Erdogan Turki yang tidak punya tawaran apa-apa kecuali pertumbuhan ekonomi? Dan untuk yang terakhir ini sepertinya Malaysia juga tak terlalu beda, bukan?
Saudara-saudara sekalian, Iran adalah satu-satunya negara Islam yang, sepanjang sejarah manusia pasca perang dunia, mampu duduk di satu meja dengan enam negara terkuat di dunia saat ini: Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, Perancis dan Uni Eropa. Tidak ada negara Muslim lain di dunia yang berunding secara multilateral seperti itu – kecuali Iran. Seharusnya semua ini membawa kebanggaan bagi umat, dari mazhab apapun mereka.
Tapi rupanya tidak. Musuh umat ini, para kapitalis penghisap kekayaan alam negeri-negeri Muslim, yang tidak ingin ada semangat kebangkitan di kalangan kaum mustadhafin, tidak rela melihat semua itu. Maka mulailah gerombolan perampok kekayaan alam, penjahat kemanusiaan, perusak akal sehat, penghasut dan pengobar kebencian itu menarik senjata paling murah untuk merusak semuanya: kebodohan dan kedengkian. Dengan kebodohan yang masih terus mencengkram umat ini, maka mulailah para bromocorah berjubah ulama itu menyulut perbedaan-perbedaan kecil menjadi permusuhan spektakuler. Mereka menjadikan biji sebesar kubah, meniup-niup balon praduga menjadi kenyataan yang membutakan mata. Dan modal paling besar mereka yang kedua adalah kedengkian yang dengan mudah merasuki tulang belulang dan sumsum orang yang bodoh, membakar mereka, membuat mereka blingsatan tak kenal lelah, mencari jalan terus-menerus untuk merusak musuh yang ada dalam pikirannya.
Tumbu ketemu tutup. Para kapitalis juga memainkan gendang di ruangan sebelah. Mereka membayar murah sejumlah ulama suu (ulama busuk) untuk menuliskan dalih-dalih ayat dan hadis, memutarbalikkan teks-teks, dan melepaskan teks dari konteks -- seperti mereka memotong hidung dari wajah manusia -- sehingga terlihatlah teks-teks agama itu bagaikan monster-monster yang sangat menyeramkan. Maka muncullah segala rupa pidato-pidato kebencian yang datang dari imajinasi terliar mereka ihwal Syiah; bahwa Syiah itu punya Al-Qur’an palsu, nabi palsu, kiblatnya di Karbala, penyembah seks, penyembah kubur, penyembah Ali dan Ahlul Bait mereka yang suci, pemerkosa anak-anak balita dan segala rupa ujaran kebencian yang tidak mungkin datang kecuali dari otak hasidin idza hasad (pendengki apabila sedang mendengki).
Bagi mereka yang pindah mazhab itu, sekiranya tidak ada revolusi Islam dan tidak ada teladan seperti Imam Khomeini, maka pilihan mereka tidak lain adalah berpindah ideologi mendekati kelompok-kelompok kiri seperti yang berkembang di Amerika Latin. Ada kedekatan ideologi di sini. Itulah alasan mengapa ideologi revolusioner Syiah Iran itu kini demikian dekat dengan negara-negara Amerikan Latin seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, Brazil dan sebagainya. Bagi mereka, pilihannya ialah pindah biduk atau sekalian pindah pulau bahkan benua. Tidak ada kata tunduk pada status quo yang pengap, sumpek, kotor, tak tertahankan seperti ini. Dan inilah versi lain dari kenyataan perpindahan itu.
Selama ideologi Syiah tetap revolusioner, menentang yang zalim di jagat raya ini, selama itu pula Muslimin bakal tertarik memeluk dan membanggakannya, tak peduli dengan banyaknya teks agama dan dalil kesesatan yang menjerat mereka. Untuk yang satu ini, mereka sebenarnya siap menukar nyawa demi kemerdekaan, kehormatan, kemuliaan, dan kedaulatan bagi diri, bangsa dan negaranya tercapai. Selama Syiah itu seperti itu, selama itu pula ia akan tetap membentang ke seluruh kolong langit. Dan begitu pula sebaliknya: bila suatu saat Syiah jadi kain keset penguasa, maka golongan yang pindah ini akan mencari ideologi baru untuk menyalakan obor perjuangan mereka, sampai cahaya keadilan di ujung lorong gelap itu tercapai.
Suadara-saudara sesama manusia berakal, adakah jalan keluar dari semua ini? Adakah jalan keluar dari gelombang fitnah yang membingungkan ini? Adakah jembatan yang dapat menyeberangkan kita ke sisi yang lebih punya harapan? Jawabnya: ada dan selalu ada. Sebab di tiap zaman, ada periode kegilaan seperti ini. Dan di tiap zaman ada penyelamat yang datang dari luar diri.
Tapi kini tampaknya penyelamatan harus dilakukan sendiri-sendiri, dengan cara yang paling mudah, yakni kembali kepada akal sehat. Mari kembali kepada kewarasan, kewajaran, kepada akal yang telah Allah tanamkan gratis dalam kepala kita masing-masing. Dan mulailah kita bertanya dan bertanya: Mungkinkan orang-orang ini menjadi Syiah hanya karena sebab-sebab sepele seperti itu? Ataukah ada yang masuk Syiah karena sebab-sebab seperti itu dan ada pula yang tidak? Dan di antara mereka yang pindah mazhab menjadi Syiah itu sebagian besarnya adalah Muslimin yang sudah lama mencari dan meneliti sebuah penafsiran dan model beragama yang lebih sesuai dengan zaman ini; sebuah model keagamaan yang mampu membangkitkan emosi perlawanan, mampu menggerakkan rasa keadilan dan semangat perjuangan.
Ya, itulah Islam yang mampu memuaskan akal dan hati sekaligus, Islam rasional yang disampaikan dengan cara yang mampu merangsang emosi cinta dari dalam diri; Islam Karbalai yang melahirkan adonan perlawanan gigih-sampai-titik-cairan-terakhir atas kezaliman sekaligus suatu luapan cinta tak-kenal-batas-akhir yang memancar keras ke segenap sendi kehidupan manusia; Islam Muhammadi yang membuat hidup ini terasa bermakna, bukan sebagai abdi dunia, tapi sebagai abdi kebenaran dan keadilan yang lebih mulia dari apapun isi alam ini. (Islam Times)