Tuesday, November 11, 2014

Anatomi Kezaliman




Anatomi Kezaliman

By DR.Muhsin Labib. via FB


 . Kezaliman memiliki dimensi dan anatomi yang ‘megah’. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk terhadap diri sendiri.


Bertindak zalim berarti ‘meletakkan sesuatu pada selain tempatnya’. Karena keburukan adalah ketidak selarasan, maka kezaliman merupakan sentra keburukan. Begitu megahnya kezaliman, sehingga ia memiliki dua fakultas: intelektual (pikiran) dan aktual (perbuatan). Kezaliman intelektual adalah berpikir zalim, atau meletakkan pikiran pada selain tempatnya, seperti meyakini yang salah sebagai benar, dan sebaliknya, serta meyakini sesuatu bukan karena kebenarannya, tetapi karena sesuatu yang lain.

Terdapat dua macam kezaliman intelektual, berdasarkan akibatnya: kezaliman intelektual non-teologis, yaitu pemahaman nir-bukti tentang masalah-masalah yang tidak berpengaruh secara tidak langsung terhadap spiritualitas dan nasib kita di akhirat; dan kezaliman intelektual teologis, yaitu pemahaman yang irasional tentang masalah-masalah yang sangat berpengaruh terhadap ‘karir’ kehambaan kita. Puncak kezaliman intelektual adalah penolakan terhadap wujud Tuhan dan syirik: Sesungguhnya syirik benar-benar kezaliman yang besar. Allah juga menganggap orang-orang yang menolak kebenaran (kufur) sebagai pelaku kezaliman, dan orang-orang kafir adalah orang-orang yang aniaya (zalim).

Seseorang yang berpikir zalim akan dengan mudah berlaku zalim (kezaliman aktual). Implikasinya, pikiran zalim bisa melahirkan perbuatan zalim. Bertindak zalim berarti meletakkan tindakan pada selain tempatnya, seperti mendistribusikan dusta demi meraih simpati atau mengalihkan perhatian orang dari keburukan dirinya, membunuh binatang yang tidak menganggu karena iseng (just for fun), merusak lingkungan hidup, menghina orang dengan kedok ‘bergurau’, dan yang paling gres, menyetujui konspirasi yang bertujuan memasung hak kedaultan sebuah bangsa.

Kezaliman aktual, ditilik dari sasarannya, dapat dibagi dua. Pertama, kezaliman internal (kezaliman terhadap diri sendiri), yaitu kezaliman berupa perbuatan dosa yang tidak melibatkan pihak lain. Kita selalu dianjurkan untuk memulai doa dengan pengakuan telah berbuat aniaya terhadap diri sendiri. Inilah password untuk memasuki ruang pengampunan Tuhan: Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami. Andaikan Engkau tiada mengampuni kami, maka niscaya kami menjadi orang-orang yang rugi.

Kedua, kezaliman eksternal, yaitu kezaliman berupa perbuatan aniaya terhadap pihak di luar dirinya, seperti perusakan lingkungan, pemborosan sumber daya alam, penindasan hak-hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Kezaliman jenis ini tidak identik dengan status atau pihak tertentu: penguasa terhadap rakyat atau sebaliknya, majikan terhadap buruh atau sebaliknya, anak terhadap orang tua atau sebaliknya, serta suami terhadap istri atau sebaliknya.

Mengapa manusia dianggap telah berlaku zalim terhadap diri sendiri ketika melakukan perbuatan dosa? Menurut para ahli filsafat etika, setiap perbuatan dosa, pada hakikatnya, adalah penganiyaan diri. Ia memaksa dirinya melakukan perbuatan yang tidak selaras dengan karakteristik jiwanya, dan secara sengaja menceburkan diri ke dalam siksa Allah. Manusia zalim melakukan perusakan diri (self destruction). Ketika melakukan dosa, maka ia memang berencana untuk melakukan ‘aksi mogok’ di depan pintu surga-Ny

Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan setelah Nabi



Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan setelah Nabi

By DR.Muhsin Labib via FB

Salam

Izinkan saya mengeluarkan uneg-unegyang hanya mewakili perspektif saya pribadi terkait isu paling banyakmenghamburkan energi positif umat Islam, Sunni dan Syiah karena konflik yangdiciptakan oleh pihak ketiga maupun konflik yang muncul sebagai akibat kehendaksaling menafikan.


Kepemimpinan setelah Nabi


Biang Perbedaan

Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam? Bagaimanamendudukkan imamah dan khilafah dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaanpolitik? Benarkah kepemimpinan Imamah ala Syiah dan kepemimpinan Khilafah alaSunni bertentangan?

Secara etimologis, khalifah berasal dari khalafa, yangberarti menyusul, melanjutkan, dan lawan kata dari salafa, yang berartimendahului. Dari arti umum ini khalifah mencakup arti keseluruhan, suksesikepemimpinan. Ia bisa berarti nabi yang datang menggantikan nabi sebelumnya, sebagaimanaIsma’il dan Ishaq yang menggantikan posisi Nabi Ibrahim as, atau boleh jadiperson bukan nabi yang melanjutkan kepemimpinannya, sebagaimana sahabat yangdiyakini melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.

Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat duafungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan horisontal. Karena itu, personyang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan penggantiNabi dalam konteks vertikal ataukah horisontal. Meskipun khalifah mempunyaiarti luas, suksesi atau melanjutkan, khalifah telah terbatas pengertiannyadalam terapan yang bersifat sosial, politik, kenegaraan, teritorial danhorisontal. Sedangkan Imamah yang juga mempunyai arti luas bahkan mencakup imamsalat dan suami sekali pun, dalam kenyataannya, telah terbatas pengertiannyadalam terapan yang bersifat individual, spiritual, intelektual, universal danvertikal. Penjelasan ini penting agar ba-nyaknya istilah khilafah, imamah, imarahtidak mereduksi pengertian kepemimpinan horisontal dan vertikal. Dalamkenyataan historisnya, khilafah diterapkan sebagai kepemimpinan horisontal danimamah diterapkan sebagai kepemimpinan vertikal.
Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sinibermakna kepemimpinan pengganti Nabi (khalifah al-Nabi), bukan khalifah dalamayat 30 surah Al-Baqarah, khalifah fi al-ardh (khalifah di muka bumi). Khalifahpada ayat tersebut bermakna manusia sebagai spesies, bukan manusia sebagaiindividu. 

Sebagian kalangan Syiah menganggap dua frase itusama dalam makna sehingga menganggap kepemimpinan yang diklaim Sunni sebagaikontra kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Sebagian kalangan Sunnijuga menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagaidelegitimasi kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiahdan Sunni untuk membuktikan kebenaran pendapat masing-masing. Tulisan ini tidakberpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namunberusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.

Bila isu kepemimpinan ini dijelaskan secarakomprehensif de-ngan mengedepankan semangat mencari benang merah untuk diterimaoleh kedua belah pihak, maka jalan menuju kesepahaman dan rekonsiliasi terbukalebar. Salah satu syaratnya adalah membuang jauh-jauh tendensi klaim kebenaranmutlak yang secara logis tidak bisa diterima.

Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggapkonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai tandingan konsepkepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syiah menganggap konsepkepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah)yang diyakini Syiah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas darisentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secarasubstansial dan tidak niscaya saling menafikan.

Perbedaan Khilafah dan Imamah
Area
            Khilafahadalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secarastruktural setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orangdi luar area tersebut. Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampauibatas teritorial, daerah, negara, dan lainnya tetapi mengikat secara spiritualdan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya kelompok yang inginmengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepatguna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.
Objek
            Umatadalah pihak lain yang merupakan objek niscaya imam. Di dalam Alquran, surahYunus ayat 19 misalnya, Allah menyifatkan umat – ummah serumpun dengan imam danimamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsungantara Imam dan Ummah. Sedangkan khilafah mempunyai objek warga negara yangmembaiatnya. Dalam ayat Alquran, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural– syu’uban wa qabail.415 Di sinilah objek khilafah dan imamah menjadi benderang.

Relasi
            Kepemimpinanvertikal atau imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orang suci danmemiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontalatau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Meski tentu, Nabi, sebagaipemimpin umat (imam) diyakini telah terbukti menjadi pemimpin horisontal yangmenjalankan fungsi kepemimpinan administratif juga.
Keabsahan
            Syiahmeyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karena-nya, ia harus dipegang olehpribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang olehpribadi yang tidak suci. Karena itu, Syiah meyakini Ali sebagai pemimpin umat. SedangkanSunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritorialsebuah state (negara). Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagipemegangnya.
Pemangku
            Alibin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karenakepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihanmasyarakat. Ia seorang yang tidak pernah melakukan penyembahan berhala sejakkecil. Sedangkan Sunni menitikberatkan pada konsep keadilan bagi seorangkhalifah, yaitu tidak cacat moral.
Mekanisme
            Alibin Abi Thalib diyakini sebagai Imam dengan proses deklarasi pengangkatan olehNabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalamAlquran.416 Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakarsebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagaipemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syiahtidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat).  Dalam Syiah, baiat memang bukan syarat.
Fungsi
            Sebagaimanamekanisme imamah dan khilafah berbeda, maka fungsi imamah bersifat spiritual, bukaninstitusional sebagaimana dalam khilafah.  
Karakteristik
            Tolokukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan aksep-tabilitas. Sementarakonsep imamah, tak harus diterima oleh publik (sosial). Karena memang imamahtidak ada hubungannya dengan pilihan masyarakat. Ia adalah hak prerogatif Tuhanyang bersifat transenden dan divine. Persis sebagaimana Muhammad Saw ditunjuksebagai Nabi, publik suka atau tidak, setuju atau tidak, Muhammad tetaplahseorang Nabi. Selanjutnya, dalam berbagai ordo tasawuf pun, Imam Ali diyakinisebagai pemimpin para wali. Hubungan ini bersifat kepatuhan spiritual yangdidasarkan pada hubungan cinta bukan bersifat kepatuhan administratif. Kepatuhanadministratif ini lebih menekankan hubu-ngan tugas kelembagaan, antara atasandan bawahan.
Bentuk

Sebagaimanapernah dijelaskan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim as sebagai Imam dalam QS. Al-Baqarah[2]: 124 pada bagian pertama buku ini yang menunjukkan bahwa imamah merupakanproses penciptaan (takwini). Sementara bentuk khilafah adalah penetapan yangbersumber dari kontrak sosial (tasyri’i).


KritikSyiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritikterhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkanpenolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidakmemenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual.Sayangnya, sebagian orang Syiah, juga Sunni, menganggap imamah dan khilafahsebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan olehsentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan.


Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi
Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiahyang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadapkepemimpinan struktural itu. Misalnya, dengan memunculkan terma ‘perampasan hakkepemimpinan’, yang terkesan mereduksi Imamah menjadi Khilafah. Padahal, perampasantidak ada dalam konteks imamah. Imamah tak bisa dirampas dan diberikan olehsiapa pun. Menurut orang Syiah, syarat keterpilihan para khalifah terdahulumasih patut dipertanyakan. Jadi, kritik Syiah atas keterpilihan para khalifahbukan pada soal perampasan imamah, melainkan dalam hal proses pemilihan dankebijakan mereka selama menjadi khalifah.

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukungdan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatantersebut justru menjadi indikator bahwa syarat aksep-tabilitas publik telahterpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwakekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapanselamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannyakepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkanpeluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Alijelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisiImam tidak bisa dianulir. Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifatstruktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syiahberkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi
Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabidalam upaya menjaga kelancaran dan membina masyarakat ialah mengendalikanpemerintahan secara langsung. Langkah kedua ialah melakukan serangkaiankebijakan dengan perencanaan matang agar program ini tidak mandek denganmelancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral,mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian eratdengan umat.
Patut diingat bahwa reformasi menyeluruh memerlukanjangka waktu panjang dan menuntut adanya SDM yang dapat diandalkan untukmengawal pembinaan masyarakat sekaligus mengantisipasi hambatan dan gejala-gejalakelesuan yang bisa mengganggu.

Syiah meyakini bahwa Rasulullah Saw mempersiapkanAli sebagai pemimpin spiritual (agama) dan sekaligus struktural (politik). Karenamasyarakat kala itu belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjalankanpemerintahan berdasarkan Syura.

Kemudian setelah diteliti secara seksama situasidan kondisi yang ada, sistem kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi Muhammad Sawsesungguhnya mengikuti situasi sosiologis yang melingkupi umat Islam pada saatitu. Mengapa? Nabi sangat sadar bahwa masyarakat sepeninggalnya masih belumbersih dari karakteristik tribal yang amat jauh berjarak dari masyarakatberperadaban yang ideal.

Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, yakni; Pertama,Nabi tidak memikirkan pentingnya kepemimpinan sepeninggal beliau Saw. Asumsiini tentu tertolak karena bertentangan dengan sifat kepemimpinan Nabi yangharish, ra’uf dan rahim. Tidak mungkin Nabi membiarkan umat yang akanditinggalkannya terbengkalai tanpa pemimpin. Kedua, Nabi merencanakan suksesisepeninggal beliau Saw. Asumsi kedua ini terbagi menjadi dua kemungkinan, yaitu;pertama, bahwa Nabi telah membentuk masyarakat yang matang dan ideal untukmenjalankan prinsip-prinsip syura dalam menentukan pemimpin sosial, dan kedua, Nabimenyiapkan kader handal sebagai pemimpin yang akan mengantar terbentuknyamasyarakat beradab.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakatsesaat setelah Nabi wafat belum memenuhi syarat masyarakat pada kemungkinanpertama di atas. Hal ini ditunjukkan misalnya, tersisanya karakter tribal jahiliyahdan sentimen primordial di balai Saqifah dengan saling mengunggulkan klanmasing-masing. Oleh sebab itu, kemungkinan ini juga tertolak.


Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua diatas, sebagai seorang Nabi yang suci tentu merencanakan sosok kader yang handaluntuk membentuk masyarakat ideal. Sebagai seorang Rasul beliau bertugasmenghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan menjadi jalankeluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema kehidupan denganmenunjuk figur terbaik dan handal sepeninggal beliau. Selain itu, figurtersebut berfungsi untuk menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai yangterkandung dalam Alquran. 

Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dansempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiapperkara. Mereka niscaya memerlukan adanya kepemimpinan spiritual yangditetapkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw.


Kepemimpinan Spiritual dan Struktural
Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinanstruk-tural (politik).  Bila seorangkhalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadipanutan pemikiran atas dasar Alquran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Danterbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syaratpenting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bait dengan segalakemampuan mereka dan tergambar dalam nas serta bukti-bukti yang sudah ada.

Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih pentingdari kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Danakhirnya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpinspiritual  karena mempertimbangkan satudan sebab lainnya. Sampai-sampai Khalifah Kedua seringkali bersumpah denganmemuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah spiritual. la selaluberkata, “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akanmembiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidaksegera menyelesaikannya.”


Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasulwafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnyaterhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh danpemimpin dalam bidang spiritual, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikitmemandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka danbahkan menganggap mereka sebagai awam.

Secara nyata terbukti bahwa Ahlul Bait kehilanganfungsi isti-mewa sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan pudar di tengah-tengahpara sahabat. Mereka berstatus tidak lebih sebagai sahabat Rasul yang sama-samaberhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin spiritual.


Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah parasahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang memintadarah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang merekakobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekuen terhadapnilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.

Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduhyang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulahtimbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakatIslam.

Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah
Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau formattertentu tentang kepemimpinan? Adadua jawaban, ya dan tidak. Ya, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinankeagamaan. Tidak, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan sosialkenegaraan. Sejak Abu Bakar sampai Ali tak ada satu konsep baku mengenai mekanisme penunjukan khalifah. Bahkanseandainya peristiwa di Saqifah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihanpemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut. Nyatanya,Abu Bakar lebih memilih untuk menunjuk Umar secara langsung –kemudian diikutisahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitu pula ketika Umar terluka, beliaulebih memilih enam orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifahsetelahnya, dan begitu seterusnya.

Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus menga-lamiperubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwakonsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalamiperubahan. Penikmat sejarah akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu darisekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Sistem khilafahsama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep,yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apa pun namanya, merupakansalah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.
Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakan parakhalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekali pun bisa ditafsirkan seba-gaikeputusan keagamaan, karena semata kebijakan politik.

Banyak pihak menduga keputusan Abu Bakar memerangikaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagaikeputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik semata. AbuBakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai sinyal bahaya yang mengancamkesatuan negara setelah wafatnya Rasul Saw dan perlu segera diambil tindakan. Memahamikebijakan harb al-riddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagaikonsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar sendiri sempat protes, “Bagaimanabisa engkau hendak memerangi orang-orang yang masih menghadap kiblat (salat)?”

Selain itu, zakat termasuk salah satu devisaterbesar negara waktu itu di samping harta rampasan (ghanimah). Kebijakan AbuBakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakattak lagi diurus oleh negara, tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaummuslimin tanpa intervensi negara. Di sini, penamaan harb al-riddah bisadipahami sebagai “tendensi politik”, karena muslim yang tidak mengeluarkanzakat secara ijmak bukanlah murtad. Bisa jadi keputusan Bani Tamim yang tak maubayar zakat pada negara bermuatan politis karena pengangkatan Abu Bakardianggap tidak memenuhi quorum.

Khalifah kedua, Umar bin Khatthab, juga demikian. Khalifahyang terkenal pemberani ini banyak melakukan terobosan kontroversial. BahkanUmar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisalkebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, ataukebijakan Umar yang tak mau memberi jatah golongan muallaf karena keislamanmereka yang masih dianggapnya oportunistik.

Tribalisme atas Nama Khilafah
Faktor lain yang turut melanggengkan konflik iniadalah upaya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah memanipulasi isu kepemimpinan inidengan memberi warna keagamaan atas kepemimpinan formal administratif ini demimemberikan legitimasi atas kekuasaannya yang tidak memenuhi syarat kepemimpinanspiritual (imamah) dan syarat kepemimpinan formal struktural, serayamengampanyekan bahwa kekuasaannya adalah kepanjangan dari kepemimpinan tigakhalifah.

Akibatnya, sebagian orang Sunni terpengaruh dancenderung menganggap konsep kepemimpinan Syiah sebagai antikepemimpinan yangdiyakini Sunni. Selanjutnya, ditafsirkan secara ekstrem sebagai penghinaanterhadap para khalifah tersebut. Konflik makin sengit manakala melebar kepersoalan-persoalan keagamaan lainnya, sehingga terbelahlah tubuh umat yangsatu menjadi dua; Sunni dan Syiah.


Kritik terhadap Khalifah
Kritik Syiah terhadap khalifah-khalifah bersifatpolitis semata. Hal itu karena bagi Syiah, kepemimpinan keumatan (imam) adalahmasalah final yang tidak terkait secara langsung dengan kepemimpinan struktural.Artinya, meski menerima dua jenis kepemimpinan; keumatan dan kemasyarakatan, tidakniscaya Syiah tidak mengkritik dan mengajukan keberatan terhadap para khalifahitu terkait elektabilitas, kredibilitas dan kebijakan-kebijakannya selamamenjadi pemimpin negara.

Tidak hanya Syiah yang meyakini khalifah bukanlahimam, tapi juga Sunni. Dengan meyakini tiga khalifah bukan imam, denganmelakukan penunjukkan secara personal, itu semuanya mengonfirmasi bahwa Sunnitidak sedang membicarakan kepemimpinan ketuhanan yang menjadi pilar pentingmazhab Syiah.

Dengan begitu kita bisa membedakan dua jeniskepemimpinan ini. Kepemimpinan ala Syiah adalah jenis kepemimpinan spiritualyang sifatnya vertikal. Konsep kepemimpinan yang dibangun karena meyakini Nabisebagai orang yang mendapatkan legitimasi ketuha-nan pasti menunjuk orang untukmenggantikannya. Sementara kepemimpinan struktural dibangun atas dasarakseptabilitas publik. Sehingga boleh jadi seorang imam juga bisa sekaligusmenjadi pemimpin struktural (khalifah) kalau memang diterima oleh masyarakatnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hasan dan Husainadalah dua Imam, baik berkuasa maupun tidak berkuasa.” Artinya baik saatkepemimpinan politik atau administrasi ia pegang atau pun tidak, merekatetaplah Imam.

Dalam konteks ini muncul dua istilah yangsebetulnya berbeda, tetapi sering disalahpahami sebagai satu hal yang sama, yaitukepemimpinan dan kekuasaan. Seorang pemimpin dalam pengertian Imam tidaklah harusberkuasa. Karena kekuasaan dibangun de-ngan media pemilihan atau kekuatan. Iaambil kekuasaan itu dengan kekuatan (pemaksaan) atau dengan pemilihan (akseptabilitaspublik).
Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya adalahlegitimasi ketuhanan, sedangkan Khilafah yang basisnya adalah pilihan danakseptabilitas publik, bukan berarti keduanya tidak bisa bertemu dalam satubentuk dan beririsan antar keduanya. Bisa jadi Khilafah dan Imamah berlakudalam satu sistem, sebagaimana Imam Ali saat menjabat sebagai Khalifah keempat.Sehingga, jika sejak awal Imamah dipahami sebagai kepemimpinan spiritual, makatidak seperti anggapan sebagian Sunni, imamah Ali bin Abi Thalib tidak gugurmeskipun dia tidak menjabat sebagai khalifah.

Kesimpulan
Ternyata kesalahpahaman yang tidak segeradiklarifikasi akan menjadi objek dramatisasi dan bahan bagi pihak ketiga untukme-ngadu domba dua kelompok besar umat Islam. Lemahnya posisi umat Islam didunia merupakan akibat nyata dari sektarianisme yang menjangkiti kedua kelompoktersebut dan masuknya isu-isu lain ke dalam isu perbedaan interpretasi tentangkepemimpinan.

Mungkin hipotesa dan analisa di atas tidak direstuioleh para pemegang otoritas dalam dua kelompok Sunni dan Syiah, namun yangperlu digarisbawahi ialah, reinterpretasi konsep kepemimpinan setelah Nabi diatas tidak mereduksi konsep Khilafah yang umum diyakini oleh kalanganmainstream Sunni dan tidak pula mendistorsi substansi kepemimpinan Imamah yangdipegang teguh oleh kalangan Syiah.

Dengan paparan di atas, kalangan Sunni secara defacto menerima kepemimpinan esoterik Ali dan Ahlulbait, sebagaimanaterkonfirmasi melalui ragam riwayat dalam referensi-referensi utamanya, terutamadi kalangan sufi. Sementara kalangan Syiah secara de facto menerimakepemimpinan eksoterik khilafah yang diusung oleh Sunni, yang dimulai dari AbuBakar.
Tentu penerimaan de facto Sunni terhadapkepemimpinan esoterik (keagamaan) dan penerimaan de facto Syiah terhadapkepemimpinan kenegaraan (sosial) tidak bisa menjadi alasan untuk fusi ataupeleburan dua bangunan peradaban yang telah berdiri menjulang ini. Keduanyaadalah realitas natural dan historis yang mesti diapresiasi sebagai kekayaan. PenunjukanNabi membuahkan legitimasi yang bersifat vertikal dan pemilihan publikmenghasilkan akseptablitas yang bersifat horisontal.

Menjadi Sunni atau Syiah bukanlah kesalahan. SeorangMuslim yang dibentuk karena asas ketauhidan dan kerasulan Muhammad, sebagaimanatercakup dalam dua kalimat syahadat, harus menafsirkan dua konsep kepemimpinan,Khilafah dan Imamah, sebagai konsekuensi dari dua perspektif yang berbeda.

Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harusmengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahumencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yangmenjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memosisikan parakhalifah dan sahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidakdiyakini kekhalifa-hannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syiah perlumakin aktif mene-gaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidakbersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaankepada Nabi Saw dan bahwa orang yang tidak memosisikan mereka sebagai imamtidak menyebabkannya keluar dari Islam. (Mohon tidak dishare. Tulisan inidikutip dari buku SYIAH MENURUT SYIAH yang akan segera diterbitkan oleh DPPABI).

Thursday, May 29, 2014

Ada Apa dengan Islam Syiah?


Islam Times- 

Kemudian mereka menyelidik. Dalam masa itu, mereka menemukan seabrek buku para pemikir Syiah yang bercitarasa revolusioner, menyajikan Islam yang hidup dan menghidupkan, Islam yang gerak dan menggerakkan.
Deklarasi Anti Syiah (khabarsoutheastasia)
Deklarasi Anti Syiah (khabarsoutheastasia)

Ini adalah tulisan ketiga dari rangkaian tulisan ihwal aksi pengkafiran Syiah dan sosok-sosok di baliknya. Tulisan pertama berjudul “Inilah Khomeini yang Mereka Kafirkan itu”, kedua berjudul “Khomeini, Revolusi Islam dan Kaum Pengkafir”, dan ketiga adalah tulisan ini. Ketiga tulisan itu bakal bersambungan dengan tulisan berseri tentang sisi-sisi gelap dan kontroversial sejumlah sosok yang tindak tanduk dan kegemarannya tak pernah lepas dari upaya mengkafirkan mazhab Syiah.
______________________________________________________________________

DI KEPALA Ahmad bin Zen Alkaf, Muhammad Baharun, Thahir Alkaf, Cholil Ridwan, Athian Ali, Abu Jibril, Bachtiar Natsir, Yunahar Ilyas, Ma’ruf Amin, dll perpindahan mazhab terjadi karena dua alasan: penyesatan dan iming-iming dunia. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebagian besar orang itu pindah mazhab karena tersesat oleh ‘propaganda Syiah’, dan sebagian lain pindah karena tergiur iming-iming ‘dana Iran’.

Bagi para pembenci, penghujat dan pengkafir Syiah, kalangan imigran mazhab ini adalah kerumunan orang sial, pandir, awam, naif, lemah iman, loyo mental dan sebagainya. Orang-orang ini tidak punya alasan rasional apapun untuk pindah mazhab, kata mereka. Di mata mereka, syiah adalah paragon massa mengambang, tidak mengakar dalam akidah Sunni, dan tidak kenal Islam. Dengan sedikit propaganda dan iming-iming dunia lah mereka lantas berbondong-bondong keluar dari Islam berpindah jadi Syiah, kata mereka.

Sampai di sini, tentu saja kita mudah mengendus bau takabur yang menyengat. Cara mereka merendahkan, meremehkan, menyesatkan, mengkafirkan dan menghantamkan sumpah serapah kepada umat Islam yang berpindah mazhab ini menunjukkan gejolak keras di ubun-ubun kemanusiaan mereka.

Ya, hasilnya memang penilaian yang keji dan zalim. Tapi, apa mau dikata? Inilah cara pandang asli kaum takfiri. Cara pandang ini lahir dari muntahan jiwa yang gundah, dada yang sesak dengan kebencian membludak yang, ironisnya, berhulu dari keraguan akan keyakinan mereka sendiri dan sebab-bebab fisiologis lain seperti kelebihan hormon antagonistik, kekurangan enzim dan, tak menutup kemungkinan, penyumbatan pasokan darah dan oksigen ke otak mereka. Semua faktor itu tentu saja masih harus ditambah dengan terbuka lebarnya dua pintu api neraka dalam jiwa mereka: prasangka buruk dan perasaan ujub. Prasangka buruk membawa orang merendahkan siapa saja di depannya dan ujub melahirkan perasaan kagum pada ilmu, sikap, perilaku dan karya dewek, dengan tetap mempertahankan sikap meremehkan siapa saja selain dirinya sendiri.

Ujung-ujungnya, sampailah mereka, gerombolan yang gemar mengkafirkan sesame Muslim itu, pada logika setan: jika banyak yang sepertiku maka aku akan aman; jika banyak yang mulai meninggalkanku, maka posisiku akan berbahaya; dan untuk memperbanyak orang sepertiku maka mau tidak mau aku harus memaksa atau menipu. Dan sungguh setan mengira semua selain dirinya berpikir dengan cara yang sama sehingga dia akan selalu menipu orang yang sejak semula menerima tipuan dan tidak akan bisa menipu siapa saja yang tidak mau ditipu, yakni mereka yang menolak kerangka penipuan yang dipakainya.

Begitulah sejatinya sejarah masa lalu dan masa depan setan: Dari dulu sampai kapan pun, pengikut setan tidak akan bertambah dan tidak akan pula berkurang. Sebab hakikatnya mereka adalah bayang-bayang dan dayang-dayang setan sendiri, sejenis duplikatnya dari jenis-jenis lain, yang memakai cara pikir dan sikap hidup yang sama dengan setan. So, penipuan setan sebenarnya cermin ketertipuannya sendiri, seperti saat dia mengira bahwa ‘api lebih baik daripada tanah’, padahal tidak pernah ada bukti sah yang membenarkan prasangka bodohnya.

Walhasil, penipuan itu sebenarnya tidak bergerak maju melainkan melingkar kembali ke titik awal: penipuan hanya akan menipu sang penipu sebelum korban lain ada yang dapat tertipu. Korban pertama para penipu adalah diri mereka sendiri.

Cara pandang di atas sungguh jauh berbeda dengan cara pandang yang Allah gariskan bagi orang beriman, sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 105);

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah bagimu. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min.dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.Hai Nabi, cukuplah Allah bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (Al-Anfal: 61-64).

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Alkitab ? Mereka percaya kepada jibti (setan) dan thaghut (sesembahan selain Allah), dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 51).

“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra: 84).

Ayat-ayat itu singkatnya menggambarkan sikap orang beriman menghadapi kesesatan: tidak galau dan gentar; tidak koar-koar merasa paling benar; tidak blingsatan menghadapi kesesatan dan terakhir; selalu percaya dengan keindahan dan kecantikan jalan Allah dalam memberi petunjuk.

Nah, adakah sikap-sikap seperti itu pada para pengkafir itu?

Para pengkafir itu agaknya mirip seperti orang yang terserang sakit perut dan merasa lega dengan muntah atau buang air besar. Mereka mengira buang air besar dan muntah besar adalah ‘penyembuhan’, padahal penyebab penyakit tetap ada dan juga, bila tidak dibersihkan dengan benar, maka muntahan dan buang air itu justru dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit lain. Mereka mengira pagelaran penghujatan, penyesatan dan pengkafiran Syiah telah menyembuhkan mereka, padahal di mana-mana bau busuk yang menyengat yang sedang mereka tebar. Sayang seribu saying sebab mereka melakukan semua itu dengan membawa nama Islam dan Nabi Suci yang menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Maka itu, izinkan di sini kita bicara dari sisi lain, dari sisi yang lebih objektif, dari sisi para imigran mazhab itu sendiri.

Pada umumnya orang yang berpindah mazhab ini adalah pelajar, santri, aktifis, habib, peneliti dan masyarakat kelas menengah yang mata dan hati mereka terbelalak melihat revolusi Islam Iran tahun 1979. Mereka terheran-heran melihat Khomeini berhasil menumbangkan raja diraja Timur Tengah yang didukung penuh oleh Amerika Serikat dan Barat. Mereka terkesiap melihat jutaan orang tumpah ruah ke jalanan Iran untuk menyambut ajakan ‘nekat’ Khomeini untuk menumbangkan kediktatoran. Mereka lebih tercenung lagi ketika melihat bahwa semua itu dilakukan dengan cara, pola, slogan, yel-yel, dan sebagainya yang sepenuhnya Islam dan sepenuhnya bersumber dari saripati Tauhid.

Kemudian mereka menyelidik. Dalam masa itu, mereka menemukan seabrek buku para pemikir Syiah yang bercitarasa revolusioner, menyajikan Islam yang hidup dan menghidupkan, Islam yang gerak dan menggerakkan. Islam model ini tidak pernah mereka dengar di mimbar-mimbar Jum’at, di buku-buku pelajaran agama, di kampus-kampus UIN, di surau-surau pesantren, di pengajian-pengajian langgar dan sebagainya. Islam ala Khomeini itu begitu gagah menghadapi si zalim, menggebrak mustakbirin dunia, dan begitu menyentuh hati mereka yang terzalimi. Inilah Islam yang lahir dari darah Imam Ali yang syahid di mihrab, dari teriakan perlawanan Imam Husein di padang Karbala.

Islam inilah yang menyemburkan semangat baru, harapan baru pada Islam di kalangan Muslim kelas menengah kala itu—dan tentu sampai sekarang.

Lalu, pada saat yang sama, Iran sebagai negara juga tidak tinggal diam. Siapa saja yang tertindas dari kaum Muslim, ia akan datangi dan membantu. Dan yang paling banyak mendapat bantuan karena alasan-alasan ideologis dan emosional adalah bangsa Palestina—yang notabene bermazhab Sunni. Kiprah Iran di tanah suci tiga agama samawi itu jelas terbukti sudah. Demikian pula di Lebanon hingga sebuah Partai Allah lahir dan mekar menjadi yang pertama dan satu-satunya kekuatan Arab Islam yang mampu mengusir tentara Israel -- jauh sebelum Hamas mampu mengusirnya dari Gaza pada tahun 2004 juga dengan bantuan logistik, strategis dan taktik dair Iran. Ketika mujahidin Afghanistan di bawah pimpinan Ahmad Shah Massoud mengangkat senjata melawan penjajah Uni Soviet, Iran juga berada di garda depan untuk ikut membantunya. Bertahun-tahun setelahnya, dalam Perang di Bosnia-Herzegovina, Iran lah satu-satunya negara Muslim yang menurunkan sukarelawan perang demi meringankan nestapa Muslimin di negara eks Yugoslavia itu.

Khomeini. Khomeini. Khomeini. Sepanjang hidupnya, pemimpin revolusi Islam Iran itu juga tak henti-hentinya menginjeksi semangat tauhid dosis tinggi dalam tiap ceramahnya di masa-masa ketegangan perang delapan tahun Iran vs Irak. Saddam Husein, diktator Irak, kala itu adalah orang kesayangan seluruh raja Arab dan negara-negara Barat.

Publik dunia, termasuk mereka yang di Indonesia, melihat semua itu bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Siapa nyana, siapa sangka, Islam yang terlihat kuyu, lesu, penuh debu itu seolah mampu tegak gagah, tegap berkibar-kibar. Ini sesuatu yang sungguh menggairahkan.

Di saat dunia Islam seluruhnya, dari yang paling takfiri sampai yang paling moderat, dari yang paling wahabi sampai yang paling Sunni, bercumbu mesra dengan Amerika Serikat untuk mengusir Beruang Putih Rusia dari Afghanistan, Khomeini seorang yang lantang menantang Barat dan Timur sekaligus. La Syarqiyyah wa la Gharbiyyah, Jumhuriyyah Islamiyyah (Tidak Timur, Tidak Barat; Republik Islam), katanya.

Nah, sidang pembaca yang budiman, siapa yang tidak kagum dan bangkit dari kelesuan melihat semua itu? Hati Muslim mana yang tidak ikut berbunga-bunga menyaksikan kebangkitan kaum tertindas semegah itu? Harapan akan datangnya pertolongan Ilahi untuk menyudahi penghinaan kepada umat seperti sudah di depan mata, bak makanan yang sudah terkulum di ujung mulut. Manisnya kemenangan dan kehormatan itu terasa bagi orang-orang Muslim yang lama mendamba perubahan itu, termasuk di Indonesia, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pindah mazhab; siapa tahu barangkali itulah jalan membayar kemenangan dan kemuliaan.

Dari saat itu dan sampai sekarang, siapa yang dapat menyaksikan model pemerintahan yang lebih layak menyandang kehormatan Islam, kejayaan masa lalu Islam, janji-janji kemenangan Ilahi, dan panji-panji tauhid dibanding yang kini tegak di Iran? Akal jernih dan hati bersih mana yang mampu menolak keunggulan model Islam Iran disbanding, maaf, model ‘Islam’ Arab Saudi yang penuh dengan brutalitas terhadap sesama Muslim -- tapi demikian membebek pada AS dan Barat? Atau model Pakistan yang kini di ambang kebangkrutan dan perang saudara akibat salah urus dan korupsi yang merajalela? Atau model Afghanistan, yang sudah ‘terlalu lucu’ untuk dapat disebut sebagai negara-bangsa? Atau mungkin kini ada yang ingin mengusung model Islam Erdogan Turki yang tidak punya tawaran apa-apa kecuali pertumbuhan ekonomi? Dan untuk yang terakhir ini sepertinya Malaysia juga tak terlalu beda, bukan?

Saudara-saudara sekalian, Iran adalah satu-satunya negara Islam yang, sepanjang sejarah manusia pasca perang dunia, mampu duduk di satu meja dengan enam negara terkuat di dunia saat ini: Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, Perancis dan Uni Eropa. Tidak ada negara Muslim lain di dunia yang berunding secara multilateral seperti itu – kecuali Iran. Seharusnya semua ini membawa kebanggaan bagi umat, dari mazhab apapun mereka.

Tapi rupanya tidak. Musuh umat ini, para kapitalis penghisap kekayaan alam negeri-negeri Muslim, yang tidak ingin ada semangat kebangkitan di kalangan kaum mustadhafin, tidak rela melihat semua itu. Maka mulailah gerombolan perampok kekayaan alam, penjahat kemanusiaan, perusak akal sehat, penghasut dan pengobar kebencian itu menarik senjata paling murah untuk merusak semuanya: kebodohan dan kedengkian. Dengan kebodohan yang masih terus mencengkram umat ini, maka mulailah para bromocorah berjubah ulama itu menyulut perbedaan-perbedaan kecil menjadi permusuhan spektakuler. Mereka menjadikan biji sebesar kubah, meniup-niup balon praduga menjadi kenyataan yang membutakan mata. Dan modal paling besar mereka yang kedua adalah kedengkian yang dengan mudah merasuki tulang belulang dan sumsum orang yang bodoh, membakar mereka, membuat mereka blingsatan tak kenal lelah, mencari jalan terus-menerus untuk merusak musuh yang ada dalam pikirannya.

Tumbu ketemu tutup. Para kapitalis juga memainkan gendang di ruangan sebelah. Mereka membayar murah sejumlah ulama suu (ulama busuk) untuk menuliskan dalih-dalih ayat dan hadis, memutarbalikkan teks-teks, dan melepaskan teks dari konteks -- seperti mereka memotong hidung dari wajah manusia -- sehingga terlihatlah teks-teks agama itu bagaikan monster-monster yang sangat menyeramkan. Maka muncullah segala rupa pidato-pidato kebencian yang datang dari imajinasi terliar mereka ihwal Syiah; bahwa Syiah itu punya Al-Qur’an palsu, nabi palsu, kiblatnya di Karbala, penyembah seks, penyembah kubur, penyembah Ali dan Ahlul Bait mereka yang suci, pemerkosa anak-anak balita dan segala rupa ujaran kebencian yang tidak mungkin datang kecuali dari otak hasidin idza hasad (pendengki apabila sedang mendengki).

Bagi mereka yang pindah mazhab itu, sekiranya tidak ada revolusi Islam dan tidak ada teladan seperti Imam Khomeini, maka pilihan mereka tidak lain adalah berpindah ideologi mendekati kelompok-kelompok kiri seperti yang berkembang di Amerika Latin. Ada kedekatan ideologi di sini. Itulah alasan mengapa ideologi revolusioner Syiah Iran itu kini demikian dekat dengan negara-negara Amerikan Latin seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, Brazil dan sebagainya. Bagi mereka, pilihannya ialah pindah biduk atau sekalian pindah pulau bahkan benua. Tidak ada kata tunduk pada status quo yang pengap, sumpek, kotor, tak tertahankan seperti ini. Dan inilah versi lain dari kenyataan perpindahan itu.

Selama ideologi Syiah tetap revolusioner, menentang yang zalim di jagat raya ini, selama itu pula Muslimin bakal tertarik memeluk dan membanggakannya, tak peduli dengan banyaknya teks agama dan dalil kesesatan yang menjerat mereka. Untuk yang satu ini, mereka sebenarnya siap menukar nyawa demi kemerdekaan, kehormatan, kemuliaan, dan kedaulatan bagi diri, bangsa dan negaranya tercapai. Selama Syiah itu seperti itu, selama itu pula ia akan tetap membentang ke seluruh kolong langit. Dan begitu pula sebaliknya: bila suatu saat Syiah jadi kain keset penguasa, maka golongan yang pindah ini akan mencari ideologi baru untuk menyalakan obor perjuangan mereka, sampai cahaya keadilan di ujung lorong gelap itu tercapai.

Suadara-saudara sesama manusia berakal, adakah jalan keluar dari semua ini? Adakah jalan keluar dari gelombang fitnah yang membingungkan ini? Adakah jembatan yang dapat menyeberangkan kita ke sisi yang lebih punya harapan? Jawabnya: ada dan selalu ada. Sebab di tiap zaman, ada periode kegilaan seperti ini. Dan di tiap zaman ada penyelamat yang datang dari luar diri.

Tapi kini tampaknya penyelamatan harus dilakukan sendiri-sendiri, dengan cara yang paling mudah, yakni kembali kepada akal sehat. Mari kembali kepada kewarasan, kewajaran, kepada akal yang telah Allah tanamkan gratis dalam kepala kita masing-masing. Dan mulailah kita bertanya dan bertanya: Mungkinkan orang-orang ini menjadi Syiah hanya karena sebab-sebab sepele seperti itu? Ataukah ada yang masuk Syiah karena sebab-sebab seperti itu dan ada pula yang tidak? Dan di antara mereka yang pindah mazhab menjadi Syiah itu sebagian besarnya adalah Muslimin yang sudah lama mencari dan meneliti sebuah penafsiran dan model beragama yang lebih sesuai dengan zaman ini; sebuah model keagamaan yang mampu membangkitkan emosi perlawanan, mampu menggerakkan rasa keadilan dan semangat perjuangan.

Ya, itulah Islam yang mampu memuaskan akal dan hati sekaligus, Islam rasional yang disampaikan dengan cara yang mampu merangsang emosi cinta dari dalam diri; Islam Karbalai yang melahirkan adonan perlawanan gigih-sampai-titik-cairan-terakhir atas kezaliman sekaligus suatu luapan cinta tak-kenal-batas-akhir yang memancar keras ke segenap sendi kehidupan manusia; Islam Muhammadi yang membuat hidup ini terasa bermakna, bukan sebagai abdi dunia, tapi sebagai abdi kebenaran dan keadilan yang lebih mulia dari apapun isi alam ini. (Islam Times)