Sunday, October 30, 2011

Logika Minor versus Logika Mayor

Logika Minor versus Logika Mayor


Dr. Muhsin Labib
Ada tiga orang yang ingin membeli sepuluh buah jeruk manis di sebuah pasar swalayan untuk dibawa pulang ke rumahnya. Orang pertama mencoba sebuah jeruk untuk memastikan rasanya manis, lalu jeruk kedua hingga kesepuluh. Dia meninggalkan toko itu dengan membawa plastik berisikan kulit sepuluh buah jeruk. Orang kedua, hanya mencicipi sebuah jeruk, lalu memasukkan sembilan sisanya ke dalam plastik sesudah membayarkan harganya lalu meninggalkan toko itu. Orang ketiga melakukan serangkaian aksi intelektual terhadap jeruk tersebut secara universal, mulai dari meneliti merek, cara penanaman, komposisi kandungannya dan nama negara pengekspornya. Ia memastikan sepuluh jeruk itu manis tanpa mencicipinya satu buah pun lalu meninggalkan toko itu sambil menjinjing plastik berisikan sepuluh buah jeruk.
Ada tiga tipe manusia yang menggunakan tiga cara membentuk sebuah keyakinan, termasuk keyakinan agamanya. Orang pertama, karena setiap tema harus diyakini berdasarkan penelitian, ia mulai mengkaji satu tema lalu tema kedua dan begitulah seterusnya. Benaknya berpindah dari sebuah tema minor ke tema minor lainnya sebelum menghimpunnya dalam sebuah keyakinan yang kompleks. Ia menggunakan induksi, yaitu aksi intelektual dari tema partikular lalu berhenti di tema universal sebagai kesimpulan aksiomatis.
Orang kedua menularkan hukum sebuah objek partikular yang telah dikajinya atas objek partikular lainnya yang tidak dikajinya, lalu memastikan semua partikular yang sama dalam himpunan keyakinan universal sebagai kesimpulan. Metode yang digunakannya adalah kombinasi analogi dan induksi yang terbatas.
Orang ketiga hanya mengkaji tema universal yang merupakan muara tema-tema partikular lainnya. Ia hanya memeras otak untuk memahami tema mayor, yang meliputi minor-minor. Selanjutnya ia hanya menerima dan mengamalkan tema-tema minor yang merupakan konsekuensinya. Sebagai contoh, ia melakukan shalat, yang merupakan tema minor, sebagai konsekuensi keyakinan mayornya, yaitu Islam, tanpa merasa perlu tahu tentang dalil detailnya. Selanjutnya ia menjalankan aktivitasnya. Ketiga cara tersebut dibahas dalam sebuah bidang ilmu bernama epistemologi, yaitu ilmu tentang sumber dan anatomi pengetahuan.
Bisa dipastikan bahwa orang pertama tidak akan pernah berhenti mencari, membahas dan berdiskusi, bahkan mungkin tidak sempat melaksanakan keyakinannya, karena ia akan sibuk menjelajahi etalase tema-tema partikular yang masih mengganjal atau yang belum diproses oleh otaknya atau belum diyakininya. Ia adalah petualang wacana, tanpa mencapai sebuah kesimpulan universal yang bisa dijadikan sebagai pandangan dunia dan jalan hidupnya.
Sedangkan orang kedua hanya mengandalkan kemungkinan universal berdasarkan pengetahuan yang bersifat partikular, dengan tetap membuka ruang kecil bagi opsi dan kemungkinan lain yang bisa jadi menafikan kesimpulan universalnya. Ia senanatiasa diliputi oleh kecurigaan dan waw-was akan kesalahan yang mungkin akan muncul, karena belum diyakininya secara komprehensif. Ia tidak akan pernah memiliki keterikatan relijius. Ia bahkan akan selalu gamang dan tidak commited. Sisi positifnya, ia biasanya bersikap pluralis, toleran dan anti fanatisme.
Adapun orang ketiga tidak akan sibuk lagi dengan mempelajari dan mengkaji tema-tema partikular yang dianggapnya sebagai bagian dari tema universal yang telah diyakininya. Ia, misalnya, tidak akan menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mencari tahu dalil tentang detail-detail shalat, karena sudah memastikan sumber hukum yang diandalkannnya untuk dijadikan sebagai panutan dan rujukan.
Orang yang menggunakan cara ketiga (deduksi) tidak merasa perlu mengetahui dalil dan alasan serta detail hukum tema-tema yang bersifat partikular sebelum melaksanakannya. Ia laksana orang yang telah memeras otak untuk mencari kriteria ‘atasan’. Setelah menemukan dan meyakini seseorang sebagai atasannya dan dirinya sebagai bawahannya, ia tidak lagi memerlukan dalil untuk melaksanakan setiap perintah atasannya itu, karena perintah itu bersifat partikular, dan hanyalah konskuensi logis dari keyakinan universalnya akan status orang itu sebagai atasan. Kalau bawahan menanyakan alasan rasional dan tujuan perintah atasannya, sangat mungkin besok ia sudah kehilangan posisi sebagai ‘bawahan’ alias diPHK karena desersi atau ‘mogok taat’.
Manakah cara yang perlu diutamakan dan dipilih? Cara pertama bisa dipastikan sulit bahkan mustahil dicapai, kecuali bila dibatasi area objeknya. Tidaklah mungkin menetapkan hukum ‘air memuai bila suhunya mencapai 0 derajat celicius’ dengan mencoba semua fenomena air tanpa kecuali.
Cara kedua hanya efektif bila objek yang dikaji bersifat material. Ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia dan biologi, berpijak di atas induksi yang terbatas ini. Namun, agama dan sebagian ilmu rasional, seperti matematika, filsafat dan teologi, tidak bisa didekati dengan metode induksi, karena ia tidak bisa dihasilkan dari survei, investigasi dan penelitian empiris.
Dengan demikian, jelaslah agama dan keyakinan transenden cukup diyakini secara universal, sedangkan tema-tema di dalamnya, tidak perlu dipelajari secara argumentatif, kecuali bagi orang-orang tertentu yang punya cukup waktu dan bertugas untuk memberikan penjelasan-penjelasan tentang agama.
Kita tidak perlu mencoba setiap jeruk untuk mengetahui rasa dan kualitasnya. Kita juga tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajari semua tema agama, mempelajari kitab-kitab kuning dan menjadi ‘ustadz’ hanya karena ingin menjadi orang saleh dan taat beragama. Yang perlu dilakukan adalah mencari kriteria umum yang rasional, agar bisa mengerjakan yang lain dan pulang dengan membawa plastik berisikan jeruk, bukan kulit jeruk.
Yang menggelikan, di tengah masyarakat beragama, ada sekelompok orang yang memastikan jeruknya sebagai ‘yang paling manis’ meski tidak menggunakan salah satu dari tiga metode tersebut di atas sambil mencemooh, membatilkan, dan tentu saja, menyesatkan dan mengkafirkan pemakan jeruk lain.

Teologi Lingkungan: “Hak Hidup”

Teologi Lingkungan: “Hak Hidup”

Dr. Muhsin Labib
Tadi dalam perjalanan pulang ke rumah, saya melihat tikus menggelepar-gelepar sekarat dengan bagian muka dan mulut hancur berdarah. Pelakunya sengaja melemparkan salah satu ciptaan Allah itu ke tengah jalan aspal dengan harapan agar ban mobil yang melintas segera mencabut hak hidupnya

. Modus operandi demikian telah dihilangkan dari daftar kejahatan sejak beberapa tahun lalu terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Tikus yang berkembang biak secara alamiah karena sejumlah faktor, antara lain tumpukan sampah makanan mengandung zat pengembang dan lainnya, telah menjadi makhluk yang dianggap musuh musuh dan kehilangan hak untuk hidup.

 Terus terang saya hampir menangis membayangkan derita yang mesti dirasakannya sesaat sebelum ada yang “berbaik hati” mengakhiri jeritan-jeritan paraunya dengan melindasnya. Saya menangis bukan karena merasa sangat baik atau sentimentil.

 Saya yang baru saja dianugerahi Allah seorang putri mungil yang masih sangat bergantung kepada asupan dan sentuhan ibu, membayangkan betapa tikut betubuh besar itu adalah induk yang sedang mencari makan untuk diberikan kepada anak-anak yang baru dilahirkannya.

Betapa kebaradaannya sebagai tikus bukanlah pilihan eksistensialnya. Ia hanyalah salah satu dari pelengkap hunian alam hewani, yang apabila tidak diciptakan, maka Tuhan kehilangan satu-satu kemampuan-Nya. Ia harus hadir karena ia memang memiliki potensi untuk hadir.

 Ia diciptakan untuk hidup dan menikmati jamuan anugerah alam, yang sebagian besar diperioritaskan untuk makhluk digdaya bernama “manusia”, meski sebagian besar melanggar “klausul kontrak” yang telah dibubuhi “tandatangan” dan mencontreng kolom “agree”-nya

. Sedangkan tikus, apalagi yang kerjanya menghabiskan sisa makanan manusia-manusia boros, menjalani kontrak kemakhlukannya secara konsisten, betapapun ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan objection.
Wawasan tentang teologi lingkungan yang pas-pasan dan indvidualisme yang membatu telah mereduksi sejumlah tema fikih sehingga kadang hukum agama dipahami hanya berlaku dalam domain hubungan antar sesama manusia, itu pun dengan kekurangan di sana sini dan penerapan yang compang camping.
 Babi juga mengalami nasib yang sama.

Saat hukum haram memakannya ditetapkan oleh syariat Islam, maka sebagian memperluasnya dengan menganggapnya haram menikmati oksigen. Padahal babi hanya haram dimakan, tapi tidak otomatis halal atau bahkan wajib dibenci atau dibunuh, atau sesekali dijadikan sebagai objek adu ketangkasan berburu.

Memang benar, seluruh binatang boleh bahkan wajib dibunuh bila keberadaannya mengganggu ketenangan dan keamanan warga kelas satu bumi, manusia. Namun, kita mesti sadar bahwa semua perbuatan kita terutama bila bertautan dengan objek tertentu, manusia, hewan, tanaman dan semua yang ada di dunia, akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi pembunuh yang sadis! Ya Allah, tanamkan dalam hati kami kesadaran memahami hak hidup setiap makhlukmu, bumi, laut, udara, gunung, hutan dan semua ciptaanMu

Anatomi Filsafat Islam (2)

Anatomi Filsafat Islam (2)



Dr. Muhsin Labib
Hubungan dimensi-dimensi spiritual dan maknawi manusia dengan ilmu-ilmu filsafat lebih dekat ketimbang hubungannya dengan ilmu-ilmu alam. Bahkan, ilmu-ilmu alam berhubungkan dengan dimensi maknawi manusia melalui perantaraan ilmu-ilmu filsafat. Hubungan tersebut paling tampak dalam teologi, psikologi filosofis, dan etika. Demikian itu karena filsafat ketuhanan (teologi) memperkenalkan seseorang kepada Tuhan, Sang Mahabesar, berikut sifat-sifat keindahan dan keagungan-Nya, seraya mempersiapkan manusia untuk berhubungan dengan sumber pengetahuan, kekuasaan, dan keindahan tak berhingga.

Psikologi filosofis, menurut Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, memudahkan manusia untuk mengenali ruh berikut sifat-sifat dan ciri-cirinya serta menggugah kesadaran terhadap substansi (jawhar) kemanusiaan. Ia memperluas cakrawala seputar hakikat diri manusia, seraya mengajaknya melampaui alam fisik berdimensi spasio-temporal (ruang-waktu). Selain pula memasok pemahaman bahwa hidup manusia tidaklah terbatas dan terkungkung dalam bingkai kehidupan duniawi dan material yang serba sempit dan gelap. Etika dan akhlak menjabarkan pola-pola menyucikan dan menghiasi kalbu serta menggapai kebahagiaan abadi dan

kesempurnaan puncak.1
Dalam upaya mencecap semua pengetahuan tak terhingga itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menyarankan sejumlah masalah dalam epistemologi dan ontologi mestilah dipecahkan terlebih dahulu. Karena itu, menurutnya, filsafat pertama merupakan kunci perbendaharaan tak terhingga dan tak tertandingi yang menjajakan kebahagian dan keuntungan abadi itu. Itulah akar yang diberkahi dari “pohon yang baik”.
Selain itu, filsafat juga membantu manusia menghalau godaan was-was setan dan menampik gelenyar materialisme dan ateisme; menjaganya dari penyimpangan berpikir dan ragam jerat yang memerangkap; melindunginya dengan senjata pamungkas di arena adu gagasan dan membuatnya mampu membela pandangan-pandangan dan aliran-aliran yang benar, sekaligus menyerbu dan membidas pandangan-padangan dan aliran-aliran keliru, palsu, dan tidak sehat.2

Selain dengan unik berperan positif dan konstruktif, filsafat, menurut Muhammad Taqî Misbâh Yazdî juga punya peran tak tertandingi dalam hal pertahanan dan serangan. Pengaruhnya sungguh kuat dalam konteks penyebaran budaya Islam serta penggusuran budaya-budaya lawan.
Dari penjelasannya tentang subjek dan tujuan filsafat, penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Taqî Misbâh Yazdî berpandangan bahwa filsafat yang terutama adalah ontologi, dan yang terutama dalam ontologi adalah teologi, dan bahwa tujuan ultimumnya adalah pengenalan terhadap Kausa Prima, Tuhan.

Menurut penulis, sebagaimana pada kritik atas penentuan Muhammad Taqî Misbâh terhadap subjek dan pengertian filsafat dan subjek ontologi yang menyisakan tanda tanya, klarifikasi Muhammad Taqî Misbâh tentang isytirak lafzhi dan isytirak ma’nawi kata ‘wujud’ merupakan indikasi nyata ketidadisiplinan para filosof Muslim pada umumnya dalam menggunakan terminologi. Sedemikian rancu dan menimbulkan penafsiran ganda pengertian di balik kata “wujud” sehingga Muhammad Taqî Misbâh perlu membahas masalah ini secara panjang lebar.

Harus diakui, langkah dan inisiatif ini sangat berguna, namun pada saat yang sama, ini memberikan kesan bahwa sebagian polemik dalam literatur filsafat Islam boleh jadi diakibatkan oleh sengketa etimologis dan hermuentik, bukan filosofis.

Anatomi Filsafat Islam (1)


Anatomi Filsafat Islam (1)


Dr. Muhsin Labib
Karena subjeknya adalah sesuatu yang mendului konsep itu sendiri, yaitu wujud, maka filsafat tidak memerlukan prinsip-prinsip konseptual, sedangkan definisi pokok-pokok masalah partikularnya tertera pada permulaan setiap pembahasan, sebagaimana biasanya terjadi dalam ilmu-ilmu lain.1
Sejak pertama kali Socrates menyebut dirinya sebagai filosof, istilah filsafat digunakan sebagai lawan dari sophistry (ke-sophis-an atau kerancuan berpikir), dan memuat seluruh ilmu hakiki seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, matematika dan teologi. Sampai sekarang, dalam banyak perpustakaan terkenal dunia, buku-buku fisika dan kimia masih dikelompokkan dalam kategori filsafat. Haya bidang-bidang berdasarkan kesepakatan seperti bidang kosakata, tata kalimat dan tata bahasa yang berada di luar wilayah filsafat.
Atas dasar itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî lebih memilih pola pembagian Yunani ketimbang pola pembgain modern, dengan menjadikan filsafat sebagai kata umum untuk seluruh ilmu hakiki, yang dibagi menjadi dua kelompok umum: ilmu-ilmu teoretis dan praktis. Ilmu-ilmu teoretis meliputi ilmu-ilmu alam, matematika dan teologi.
Ilmu-ilmu alam pada gilirannya meliputi kosmologi, mineralogi, botani dan zoologi; matematika meliputi aritmetika, geometri, astronomi dan musik. Teologi dibagi menjadi dua kelompok: metafisika atau perbincangan umum seputar wujud; dan teologi ketuhanan. Ilmu-ilmu praktis bercabang tiga: moralitas atau akhlak; ekonomi.2
Karena perbedaan makna yang disebutkan tentang ilmu dan filsafat, hubungan di antaranya juga menjadi berbeda sesuai dengan makna yang digunakan. Jika “ilmu” dipakai untuk arti kesadaran secara tak terikat, atau jika ia dipakai untuk arti kumpulan proposisi yang saling berkaitan, maka ia artinya jadi lebih umum daripada filsafat. Soalnya, ia mencakup proposisi-proposisi partikular dan ilmu-ilmu konvensional. Jika ilmu dipakai untuk arti proposisi-proposisi universal hakiki, ia menjadi setara dengan filsafat dalam arti kuno. Jika dipakai untuk arti proposisi-proposisi empiris, ia menjadi lebih sempit daripada filsafat dalam arti kuno dan bertentangan dengan filsafat dalam arti modern. Demikian pula, metafisika merupakan bagian filsafat dalam arti kuno dan setara dengann filsafat dalam salah satu makna modernnya.
Pertentangan filsafat dan ilmu dalam arti modern, seperti diketengahkan oleh para positivis, tidak lain bertujuan untuk merendahkan nilai filsafat dan mengingkari kedudukan akal dan nilai pemahaman intelektual. Anggapan itu jelas-jelas tidak benar. Saat mengupas epistemologi, saya akan menerangkan bahwa nilai pemahaman intelektual bukan saja tidak kurang dibandingkan dengan pengetahuan indrawi dan hasil pengalaman (experiential), melainkan lebih tinggi daripada keduanya. Bahkan, nilai pengetahuan hasil pengalaman bermuara pada nilai pemahaman intelektual dan proposisi-proposisi filosofis.
Atas dasar itu, penyempitan makna ilmu pada pengetahuan empiris dan filsafat pada sesuatu yang non-empiris bisa diterima kalau cuma sebatas perkara terminologi, tapi perbedaan kedua istilah itu tidak untuk mencitrakan soal-soal filsafat dan metafisika sebagai persangkaan kosong. Demikian pula, label “ilmiah” tidak memberikan keunggulan pada suatu kecenderungan filosofis. Label itu laksana tambalan yang tidak pas pada filsafat, sehingga hanya akan menandakan kebodohan dan upaya demagogis pemasangnya.
Klaim bahwa prinsip-prinsip filsafat seperti materialisme dialektika berasal dari hukum-hukum empiris adalah keliru, lantaran tiada hukum-hukum suatu ilmu (empiris) yang dapat digeneralisasikan pada ilmu lain, apalagi pada seluruh eksistensi. Misalnya, hukum-hukum psikologi dan biologi tidak dapat digeneralisasikan pada fisika atau kimia atau matematika dan demikian pula sebaliknya. Hukum-hukum suatu ilmu tidak berarti apa-apa di luar bidangnya sendiri.3
Dari penjelasan diatas, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî mengajukan alasan pemilahan ilmu. Menurutnya, masalah-masalah yang bisa dikenali merupakan spektrum yang luas. Dalam spektrum itu, sebagian masalah saling berhubungan erat, sedang sebagian lainnya tidak. Pada sisi lain, pemahaman satu jenis pengetahuan bergantung pada pemahaman lainnya, atau paling tidak pemahanan satu jenis pengetahuan membantu pemahaman lainnya, sementara hubungan ini tidak terwujud pada jenis-jenis pengetahuan lainnya.
Menurutnya, karena adanya fakta bahwa memperoleh seluruh pengetahuan mustahil bagi seseorang, dan kalaupun mungkin, tidak semua tergerak untuk itu, sejak dahulu para pengajar memutuskan untuk secara jitu mengklasifikasi topik-topik yang bertalian, kemudian menentukan pelbagai tipe ilmu dan pengetahuan. Beragam ilmu dikategorikan dan kebutuhan atas masing-masingnya dijabarkan, dan akibtanya prioritas masing-masing tertandaskan. Dengan begitu, pertama, seorang yang berbakat dan berselera tertentu bisa menemukan apa yang dicarinya dari tumpukan masalah tak berbilang dan jalan untuk mencapai tujuannya. Kedua, orang yang hendak mengenal bidang pengetahuan lain bisa mengetahui titik memulai dan mempermudah jalan untuk memperoleh bidang pengetahuan lain itu.
Oleh sebab itu, ilmu-ilmu dipilah-pilah ke dalam beberapa bagian. Tiap-tiap bagian, pada gilirannya, diletakkan pada kategori dan tingkat tertentu. Secara umum, ilmu dibagi menjadi teoretis dan praktis. Ilmu-ilmu teoretis dipecah menjadi ilmu-ilmu alam, matematika dan ketuhanan, sedang ilmu-ilmu praktis dipecah menjadi etika, ekonomi rumah tangga dan politik¾sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Setelah menjelaskan pendapatnya tentang kemestian klasifikasi ilmu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî membahas tolok ukur dan dasar klasifikasinya. Menurutnya, ilmu dapat diklasifikasi sesuai dengan beragam standar, di antara yang terpenting adalah sebagai berikut.
Menurut metode dan prosedur penelitian. Sebelumnya telah kita jelaskan bahwa semua soal tidak bisa dikaji dan diteliti dengan satu metode. Lantas, kita jelaskan bahwa berdasar metode umum penyelidikannya, semua ilmu dapat dipecah menjadi tiga kelompok:
  1. Ilmu-ilmu rasional, yang diselidiki lewat bukti-bukti rasional dan penyimpulan mental belaka, seperti logika dan filsafat ketuhanan;
  2. Ilmu-ilmu empiris, yang diverifikasi lewat metode-metode empiris, seperti fisika, kimia dan biologi.
  3. Ilmu-ilmu nukilan (narrative sciences), yang ditilik lewat dokumentasi naratif atau historis, seperti sejarah, biografi (‘ilm al-rijâl) dan fiqh.
Menurut tujuan dan sasaran. Tolok-ukur lain untuk mengelompokkan ilmu ialah berdasarkan pelbagai manfaat dan akibatnya. Inilah matalamat dan sasaran yang dituju oleh mereka yang hendak mempelajarinya, semisal tujuan-tujuan material, spiritual, individual dan sosial dari ilmu bersangkutan. Jelas bahwa orang yang hendak mencari jalan penyempurnaan spiritual harus mempelajari berbagai hal yang tidak dibutuhkan oleh seorang yang ingin menjadi hartawan dengan bertani dan berindustri. Begitu pula seorang pemimpin masyarakat membutuhkan jenis pengetahuan yang khusus. Karenanya, ilmu-ilmu manusia juga bisa diklasifikasi sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut.
Menurut pokok soal (subject matter). Mengingat bahwa semua masalah mempunyai pokok soal dan sejumlah soal bisa dihimpun dalam satu topik induk, maka topik induk inilah yang berperan sebagai poros bagi semua masalah yang di bawahnya, seperti angka adalah pokok masalah aritmetika, volume (kuantitas-kuantitas bersinambung) adalah pokok masalah geometri dan tubuh manusia adalah pokok masalah ilmu kedokteran.
Klasifikasi ilmu berdasarkan pokok-pokok masalah kiranya lebih menjamin tercapainya tujuan pemilahan ilmu, lantaran dengan metode ini kaitan-kaitan internal dalam tatanan dan susunan mereka tetap terpelihara. Oleh sebab itu, sejah dahulu para filosof besar menggunakan metode ini dalam klasifikasi ilmu. Tetapi, dalam pen-subdivisi-an kita dapat mempertimbangan metode-metode lain. Umpamanya, seorang bisa menetapkan suatu ilmu bernama teologi, yang pokok masalahnya berkisat tentang Tuhan Mahabesar. Lalu, ilmu ini sendiri dapat disubdivisikan ke dalam teologi filosofis, gnostis dan religius, yang masing-masingnya dapat diselidiki dengan prosedur yang khas. Dalam kenyataannya, tolok-ukur subdivisi ini ialah metode penelitiannya. Dengan cara sama, pokok masalah matematika bisa dibagi menjadi beberapa cabang berdasarkan tujuan spesifiknya masing-masing, seperti matematika fisika dan matematika ekonomi.
Selanjutnya, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menjelaskan tujuan studi filsafat. Menurutnya, tujuan jangka pendek dan langsung semua ilmu adalah menyadarkan manusia terhadap pelbagai masalah yang terungkap dalam ilmu tersebut, serta memuaskan dahaga kodratinya untuk memahami kebenaran. Pasalnya, salah satu naluri paling mendasar manusia adalah mencari kebenaran atau keingintahuan yang tak berhingga dan tak terpuaskan. Pemuasan relatif atas naluri ini akan memenuhi salah satu kebutuhan jiwa. Walaupun tidak semua individu memilikinya dalam tingkat yang sangat aktif dan penuh gelora, namun naluri ini tidak pernah sepenuhnya lenyap dari diri manusia.4
Pada galibnya, setiap ilmu mempunyai pelbagai manfaat dan dampak tidak langsung serta bertindak sebagai medium kehidupan material dan spiritual manusia. Umpamanya, ilmu-ilmu alam lebih memudahkan proses pemanfaatan alam dan meningkatkan kesejahteraan fisik manusia, serta terpaut dengan kehidupan alami dan hewani manusia melalui satu sarana. Matematika memiliki dua medium untuk mencapai tujuan-tujuan di atas—kendati dengan cara lain, dapat pula mempengaruhi kehidupan spiritual dan dimensi maknawi manusia. Khususnya, saat matematika berkelindan dengan isu-isu filsafat, ketuhanan, dan penghayatan gnotis (‘irfâniyyah) hati, serta membeberkan gejala-gejala alam sebagai imbas keteraturan, keagungan, kebijaksanaan, dan kasih sayang (luthf) ilahi.5

Sunday, October 23, 2011

Tarian Angka




Purkon Hidayat
Kekuatan angka telah begitu deras merasuk ke dalam tubuh kehidupan umat manusia, bahkan menelusup  ke setiap tulang sendi hingga merembes ke sumsum kesadaran dan ubun-ubun keberakalan. Yang berlaku saat ini adalah besaran kuantitas, besar-kecil, banyak-sedikit, menyisihkan besaran kualitas; baik buruk, benar-salah. Kini, lalu lintas arus informasi yang hilir mudik di kepala kita telah dibingkai dengan kacamata angka tersebut.
Di tingkat masyarakat, cara berpikir angka telah begitu mengakar hingga segala sesuatu berujung pada angka bernama uang alias ‘UUD’, ujung-ujungnya duit. “Ah ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya juga tetap nyari duit kan ?”
Lebih dari itu, angka telah dijadikan sebagai sebuah bahasa adi luhung untuk membenarkan sebuah keputusan baik di tingkat paling sederhana hingga kebijakan pemerintahan. Semua ini seolah membenarkan sabda bapak utilitarianisme, Jeremy Bentham,  “Kebahagiaan terbesar dari kuantitas terbesar adalah dasar dari prinsip moral dan aturan.”Dewasa ini, angka telah didaulat menjadi sebuah metode terbaik untuk memahami dunia. Tidak sedikit para ekonom dan pengamat sosial begitu mudah terjebak pada angka-angka kuantitatif yang menyisihkan, bahkan tidak memberikan ruang bagi pembacaan kualitatif.
Besaran seperti Produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur pembangunan ekonomi sebuah negara menggerus faktor lain yang mungkin lebih penting.
Selama beberapa dekade, model tersebut mengacu pada penerapan di negara Barat seperti AS. Belakangan model ini terbukti keliru. Sebab tidak mempertimbangkan membengkaknya utang negara  yang memicu bom waktu pailit yang akan meledak memporakporandakan segalanya.
Kini, utang negara yang membumbung tinggi menjadi masalah paling pelik yang dihadapi Obama untuk mempertaruhkan dukungan menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam itu untuk kedua kalinya.
Departemen keuangan AS dalam laporan terbarunya yang diterbitkan akhir September mengungkapkan bahwa utang negara ini menembus $14,3 triliun. Diprediksi pada tahun 2015 akan meroket mencapai $20 triliun.
Pertemuan Forum Ekonomi Eropa yang digelar tidak lama setelah dunia dihantam gelombang krisis 2008, terang-terangan mengkritik kebijakan sejumlah negara Eropa yang menjadikan AS sebagai model pembangunan ekonomi dengan parameter kenaikan PDB yang tinggi.
Di level teoritis, ukuran-ukuran statistik-matematis ternyata terbukti telah banyak dikritik karena menyajikan data yang menipu. Bahkan ekonom semacam John Kenneth Galbraith secara sarkastik menuding ilmu ekonomi merupakan penipuan terselubung yang diyakini sebagai realitas.
Soal PDB tinggi, muncul sebuah masalah mendasar. Struktur sosial mana yang menikmati kenaikan angka-angka itu? Apakah rakyat jelata yang merupakan mayoritas seperti di Tanah Air, ataukah segelintir orang yang pendapatannya lebih besar dari pendapatan median warga ?
Terdapat kesenjangan antara pendapatan perkapita dari rata-rata dengan pendapatan median (pendapatan individu yang mewakili). Boleh jadi pendapat yang besar itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja bukan kebanyakan rakyat.
Tingginya tingkat investasi dan kenaikan pertumbuhan ekonomi yang fantastis acapkali tidak berhubungan langsung dengan kesejahteraan itu sendiri.
Salah satu bukti yang paling nyata adalah kasus pengalihan subsidi yang dipercaya oleh banyak ekonom akan berdampak positif menurunkan jumlah kemiskinan. Benar, jika ditilik dari jejak angka hasil simulasi, tidak ditemukan fakta bahwa pengalihan subsidi akan berdampak negatif. Namun, ada yang luput dari logika angka ini. Deretan angka tersebut adalah fakta tidak berjiwa, karena mengalami penyederhanaan.
Meroketnya angka pertumbuhan ekonomi juga telah mengecoh perekonomian banyak negara dunia termasuk Indonesia. Lembaga donor internasional seperti World Bank pernah menobatkan Indonesia sebagai The Asian Miracle karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang menembus 7%. Tapi, ternyata pujian itu menikam dari dalam. Buktinya, perekonomian Indonesia limbung dihajar krisis ekonomi tahun 2007.
Tidak lama kemudian, World Bank dan IMF merevisi pujiannya dan menyebut terjadinya kekeliruan selama ini. Stiglitz dalam bukunya Globalization and its Discontentsmenunjukkan sejumlah kekeliruan atas resep yang dipaksakan lembaga donor seperti IMF terhadap Indonesia.
Tarian angka ini semakin dasyat di Tanah Air terutama dalam dua dekade terakhir dengan terjadinya pergeseran dari sektor ril menuju finansial. Finansial telah menjadikan aktivitas ekonomi menjadi entitas semu yang hanya mengurusi deretan angka-angka dalam jumlah besar. Padahal, dalam sistem hegemoni finansial dewasa ini, perpindahan modal semakin cepat yang memicu volatilitas gejolak pasar yang semakin tinggi.
Di tengah hiruk-pikuk tarian angka yang berseliweran di kepala, kini saatnya meninjau kembali rasionalitas dengan mencari makna yang lebih jauh dari sekedar angka belaka.
Sejatinya, angka adalah garis dan titik dari peta yang tidak perlu dipuja menjadi segalanya, apalagi menjadi sebuah bahasa kebenaran yang mengalahkan akal sehat dan rasionalitas kita.
Kini, gerakan penyadaran melawan tarian angka mulai tumbuh dan menyebar. Gerakan Ocuppy Wall Street di jantung perekonomian Kapitalisme global menjadi media penyadaran baru bagi publik dunia bahwa Wall Street telah sekian lama dijadikan sebagai panggung erotis yang menampilkan tarian angka hingga kita tidak menyadari bencana besar di balik deretan angka-angka itu.
Jauh-jauh hari Baqir sadr telah menjelaskan sebuah terobosan  menghadapi tarian angka tersebut. Pertama, meletakan Ekonomi Islam bukan sebagai sains positif yang terlanjur didikte oleh deretan angka. Sadr mengatakan bahwa sains ekonomi tetap pelu tapi harus didampingi oleh sesuatu yang di luar itu.
Dengan cara ini, Sadr sedang menjelaskan sebuah keterbatasan ilmu ekonomi dengan memasukan pendekatan ekonomi politik (dan ekonomi politik internasional) yang melihat motif-motif politik dalam setiap transaksi ekonomi antarnegara dunia.
Bagi sadr, ada faktor-faktor di luar sistem ekonomi mainstream yang cenderung kauntitatif, yang harus dijadikan sebagai parameter baru seperti aspek sosial, budaya dan politik.
Kedua, ekonomi Islam yang ditawarkan Sadr berpijak pada kemandirian ekonomi dan keadilan sosial dengan pijakan sektor riil. Bagi Sadr, sektor finansial hanyalah sarana untuk meningkatkan roda aktivitas sektor riil yang menjadi urat nadi ekonomi.
Ketiga, menghadapi tarian angka yang telah menjadi sebuah hegemoni global bernama hegemoni finansial, Sadr menawarkan sebuah pendekatan  mekanisme segitiga.
Ketika Robert E. Lucas menjelaskan paradox Kapitalisme, “Kapital beranak pinak di negara berkembang, tetapi akan segera mengalir ke negara maju”, Sadr telah menawarkan sebuah terobosan memutus peredaran kapital itu dengan menyodorkan mekanisme segitiga yaitu peran pemerintah untuk mendorong terciptanya mekanisme pasar yang adil, dengan ditopang dua pilar kesejahteraan sosial dan kemandirian ekonomi. Dengan cara ini, kebijakan Sadr telah menerapkan prinsip intervensi ex ante, sebelum kejadian.
Ketiga aspek inilah yang sering dilupakan oleh banyak kalangan termasuk para  ekonom untuk memutus  tarian angka yang telah berurat dan berakar.(PH)

Saturday, October 22, 2011

Kata kata Hikmah,Imam Ali bin abi thalib








Segera Akan Tiba SAAT ketika kedudukan Tinggi 

Hanya 


diberikankepada  Orang Yang mencemarkan 

Orang lain; ketika Orang-Orang Cerdas Keji dianggap 

murah, 

Orang Adil dianggap Lemah. 


Orang memandang sedekah sebagai Akan merugikan, 

hubungan kekeluargaan sebagai beban, kewajiban 

ibadah 

sebagai Dasar murah UNTUK mengklaim kebesaran di 

ANTARA Orang lain. 


PADA SAAT ITU wewenang Akan 

dilaksanakan melalui nasehat kaum wanita, 

mendudukkan 

Anak-anak UNTUK Jabatan Tinggi Urusan 

pemerintahan 

pelaksanaan murah oeh para banci. (Imam Ali)



Bila mendengar suatu hadist ,  ujilah dengan akal, 

jangan 


sekedar mendengar, KARENA BANYAK  periwayat 

Pengetahuan tetapi menjaganya Yang Hanya Sedikit


 (Imam Ali)






Sahabat Rasulullah adalah Orang Yang menaati Allah, 



sekalipun  Tidak berhubungan darah,  musuh 

Rasulullah 

adalah Orang Yang Tidak menaati Allah, sekalipun  

Keluarga 

dekatnya (Imam Ali)



Menahan Diri adalah kemiskinan Perhiasan sedang 

syukur 

adalah kekayaan Perhiasan" (Imam Ali)



"Tidak mendapatkan apa Yang diinginkan Lebih 

mulia, 

daripada meminta PADA Orang Yang tak Pantas" 

(Imam Ali) 


Setiap Orang Yang menghargai dirinya tidak  suka 

berhutang 

budi ,berlepas Dari Orang yang tak semestinya,dan 

tidak  

dengan murah dan nyata memohon Kepada Orang 

lain,apalagi orang yang hina dan fasik"




Sunday, October 16, 2011

Tuhan Baru (5)

Tuhan Baru (5)

This entry is part 5 of 5 in the series Tuhan Baru

Dr. Muhsin Labib
Mind over Matter
Prinsip yang tertinggi dan paling primer alam semesta adalah ‘sebab’ yang pada esensinya niscaya, yang rantai sebab-sebab berakhir padanya. Seperti yang dipertanyakan secara retorika aleh Baqir Shadr dalam “Falsafatuna”—magnum opus-nya, yaitu “Apakah sebab efisien alam itu adalah sebab material itu sendiri atau bukan?” Di belakang meja dan kayu, ada tukang kayu, ada hal-hal lain yang menyebabkan adanya meja. Sebab-sebab ini akan membawa pada hal yang tidak bisa ditelaah secara matter.
Kemudian Baqir Shadr bertanya lagi (pada kita dan dirinya sendiri), “Apakah pencipta alam ini adalah sesuatu yang bukan materi dan berbeda dengan materi, karena pembuat kursi berbeda dengan materi kayunya, atau ia adalah materi itu sendiri yang darinya entitas alam ini tersusun?”
Mungkin materi pertama yang disebut dengan hyle itu yang dapat dijadikan sebagai titik mula dalam pencarian Yang Ultim bagi pendahaga filsafat. Materi (body, second matter) sebagai substansi yang merupakan gabungan dari hyle (prime matter, al-quwwah) dan morph (ash-shurah) dipastikan dalam metafisika sebagai ‘arena gerak’ sekaligus ‘pelaku gerak’, sebagaimana ditegaskan dalam al-Hikmah al-Muta’aliyah Molla Shadra. Gagasan gerak substansi yang dipersembahkan Shadra tidak melahirkan materialisme versi Islam, tapi menegaskan bahwa gerak dan perubahan tidak hanya bersifat kosmik dan material, karena ternyata gerak dan perubahan adalah karakteristik inheren al-mumkinât (semua yang tidak eternal).
Akhirnya, gerak, yang selama ini dijadikan ‘mantra sakti’ kaum saintis dan materialis, dapat dijadikan dasar pembuktian terbalik tentang keberadaan sesuatu yang bergerak dan tak bermateri, suatu ‘Kecerdasan’ yang mengatasi dan mengendalikan materi, yang ditandai dengan nama Sang Hyang, Lord. Dewa, Tuhan, Theos, Khuda, Yazdan, Allah, Yahweh, atau apa saja yang terindah, karena itu adalah copyright-Nya.

Tuhan Baru (4)

 

Tuhan Baru (4)

This entry is part 4 of 5 in the series Tuhan Baru


Dr. Muhsin Labib
A Matter of a New Philosophy
Dalam sebuah novel spiritual “The Celestine Prophecy” milik James Redfield – yang merupakan novel beraroma New Age, dikatakan bahwa wawasan ketiga adalah masalah energi. Wawasan ketiga ini menggambarkan pemahaman baru atas dunia fisik. Dikatakan bahwa manusia akan belajar menyerap apa yang dulu merupakan energi yang tak terlihat. Banyak ilmuwan menganggap hal semacam ini sebagai hocus pocus, akan tetapi ilmuwan fisika baru tidak menganggapnya demikian.

Seluruh karya hidup Einstein adalah untuk menunjukkan bahwa apa yang kita persepsikan sebagai benda keras kebanyakan merupakan ruang kosong dengan suatu pola energi yang melintasinya. Jika saat ini fisika menuntun kita ke sebuah pandangan dunia yang secara esensia bersifat mistik. Ini berarti bahwa ia telah kembali ke permulaannya pada sekitar dua ribu lima ratus silam. Istilah ‘fisika’ berasal dari kata Yunani ini yang berarti usaha untuk melihat alam yang esensial dari segala hal. Ini merupakan tujuan sentral para sufi dan filosofi ajaran milesia yang memiliki pengertian mistik yang kuat. Orang Milesia dijuluki ‘hylozoist’ atau ‘orang-orang yang berpikir bahwa materi adalah hidup’ oleh orang-orang Yunani sesudahnya, karena mereka menganggap bahwa tak ada perbedaan antara yang hidup dan yang mati, antara ruh dan materi. (Fritjof Capra, “Tao of Physics” (Jalasutra, 2001); halaman 6-7).
Lahirnya sains modern didahului dan didampingi oleh satu perkembangan pemikiran filsafat yang mengarah pada sebuah rumusan yang luar biasa tentang dualisme ruh/materi. Rumusan ini muncul di abad ke-17 dalam filsafat Rene Descartes yang mendasarkan pandangannya atas alam dengan pembagian fundamental dua wilayah terpisahkan dan independen, yakni pikiran dan materi.
Dalam pandangan Newton, Tuhan telah mencipta, pada mulanya, partikel-partikel materi, di antaranya energi-energi dan hukum-hukum fundamental tentang gerak. Dengan cara itu, seluruh alam semesta ditata dalam gerak dan ia terus berlangsung hingga kini, seperti sebuah mesin, diatur oleh hukum-hukum yang tak bisa diubah-ubah. Sejak Newton, para fisikawan telah percaya bahwa semua fenomena fisik dapat direduksi menjadi partikel-partikel yang keras dan padat. Akan tetapi ditahun 1920-an, teori kuantum memaksa mereka untuk menerima fakta bahwa objek-objek material padat fisika lenyap pada level subatomik menjadi gelombang-gelombang mirip pola-pola probabilitas.
Werner Heisenberg, salah seorang pendiri teori kuantum mengatakan, “Demikianlah dunia tampak sebagai suatu jaringan rumit peristiwa-peristiwa yang didalamnya hubungan-hubungan dalam jenis-jenis yang berbeda menggantikan atau tumpang tindih atau tergabung dan dengan demikian menentukan tenunan keseluruhan.
Fisika modern, kemudian menggambarkan materi sama sekali bukan sebagai sesuatu yang pasif dan lamban, tapi mewujud dalam tarian yang berkesinambungan dan gerak yang bergetar yang pola-pola ritmisnya ditentukan oleh struktur-struktur molekuler, atom dan nuklir. Hal ini juga merupakan cara yang di dalamnya para sufi melihat dunia immateri. Mereka menekankan bahwa alam semesta harus dipahami secara dinamis, karena ia bergerak, bergetar dan menari; bahwa alam tidak berada pada posisi berhenti, tapi dalam titik keseimbangan dinamis.
DNA: Intelligent Design
Anthony Flew, filsuf ateis terkenal, yang mengaku sebagai ateis sejak usia 15 tahun dan selama 54 tahun menjadi profesor di universitas Oxford, universitas Aberdeen, universitas Keele dan universitas Reading, di banyak universitas di America dan Kanada mempertahankan pandangannya. Namun baru-baru ini, Anthony Flew telah mengumumkan bahwa ia telah meninggalkan kekeliruan ini dan menerima bahwa alam semesta telah diciptakan.
Anthony Flew menyadari bahwa asal usul yang sesungguhnya dari kehidupan adalah rancangan cerdas (intelligent design) dan bahwa ateisme yang telah dianut dan dipertahankannya selama 66 tahun adalah filsafat yang telah terbantahkan. Anthony Flew mengemukakan alasan-alasan ilmiah yang mendasari perubahan keyakinan ini dalam ungkapan berikut:
“Berdasarkan tingkat kerumitan yang hampir tak dapat dipercaya dari penataan yang dibutuhkan untuk memunculkan [kehidupan], penelitian para pakar biologi terhadap DNA telah menunjukkan bahwa suatu kecerdasan pastilah telah ikut campur tangan.”
“Sudah terlampau sulit bahkan untuk memulai berpikir tentang membangun sebuah teori alamiah tentang evolusi makhluk hidup pertama yang dapat berkembang biak.”(2)
“Saya telah menjadi yakin bahwa sungguh mustahil makhluk hidup pertama berevolusi dari benda mati dan kemudian berkembang menjadi makhluk yang luar biasa rumitnya. ” (3)
Penelitian DNA yang dikutip Anthony Flew sebagai alasan mendasar perubahan pandangannya telah benar-benar mengungkap fakta-fakta mengejutkan tentang penciptaan. Bentuk heliks (rantai ganda terpilin) dari molekul DNA , kode genetik yang ada padanya, susunan nukleotida yang menggugurkan teori kebetulan, kemampuan menyimpan sejumlah besar informasi, dan banyak penemuan mengejutkan lainnya telah mengungkapkan bahwa struktur dan fungsi-fungsi molekul ini dirancang bagi kehidupan dengan rancangan khusus. Ulasan para ilmuwan yang menggeluti penelitian DNA menjadi saksi atas fakta ini. Contohnya adalah Francis Crick, salah seorang ilmuwan yang mengungkap bentuk heliks DNA. Dihadapkan pada penemuan tentang DNA, Francis Crick mengakui bahwa asal usul kehidupan mengisyaratkan sebuah keajaiban:
Berdasarkan perhitungannya, Led Adleman dari Universitas Southern California di Los Angeles mengatakan bahwa satu gram DNA dapat menampung informasi sebanyak satu triliun CD. Gene Myers, seorang ilmuwan yang dipekerjakan pada Human Genome Project (Proyek Genom Manusia), mengatakan hal berikut ini ketika berhadapan dengan penataan menakjubkan DNA yang ia saksikan: “Apa yang sungguh mengejutkan saya adalah arsitektur kehidupan… Sistemnya begitu teramat rumit. Sepertinya hal itu telah dirancang…Ada kecerdasan mahahebat di sana.”
Fakta paling mengejutkan tentang DNA adalah bahwa keberadaan informasi genetik yang terkodekan (berupa sandi) sudah pasti tidak dapat dijelaskan dalam istilah materi dan energi atau hukum-hukum alamiah. Dr. Werner Gitt, profesor di Institut Fisika dan Teknologi Federal Jerman (the German Federal Institute of Physics and Technology), mengatakan berikut ini seputar masalah tersebut:
Sebuah sistem pengkodean (sistem sandi) selalu merupakan hasil dari suatu proses mental… Perlu ditegaskan bahwa materi saja tidak mampu memunculkan kode apa pun. Seluruh pengalaman menunjukkan bahwa dibutuhkan sebuah wujud yang mampu berpikir yang dengan kehendaknya sendiri menggunakan kemauan bebasnya, kemampuan memperoleh pengetahuan, dan kemampuan berkaryanya… Belum pernah ada hukum alamiah yang dengannya materi dapat memunculkan informasi, belum pernah ada pula proses fisika atau fenomena materi yang dapat melakukan hal ini.
Para ilmuwan dan filsuf pendukung penciptaan berperan besar dalam penerimaan perancangan cerdas (intelligent design) oleh Anthony Flew, yang didukung oleh semua penemuan ini. Sebelumnya, Anthony Flew turut serta dalam sejumlah debat dengan para ilmuwan dan filsuf yang mendukung penciptaan, dan saling bertukar pikiran dengan mereka. Titik balik dalam proses tersebut adalah sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Metasaintifik (the Institute for Metascientific Research) di Texas pada bulan Mei 2003. Anthony Flew ikut serta bersama dengan pengarang Roy Abraham Varghese, pakar fisika dan biologi molekuler asal Israel Gerald Schroeder, dan filsuf Katolik Roma John Haldane. Anthony Flew terkesan oleh kuatnya bukti ilmiah yang mendukung penciptaan dan karakter meyakinkan dari argumen-argumen penentangnya, dan menanggalkan ateisme sebagai keyakinan setelah diskusi itu. Dalam surat yang ia tulis kepada majalah Inggris, Philosophy Now edisi Agustus-September 2003, ia memuji buku Schroeder “The Hidden Face of God: Science Reveals the Ultimate Truth” (Wajah Tersembunyi Tuhan: Ilmu Pengetahuan Menyingkap Kebenaran Hakiki) dan buku Varghese “The Wonderful World” (Dunia Yang Menakjubkan). (8) Selama wawancara dengan profesor filsafat dan teologi Gary R. Habermas, yang juga berperan besar dalam merubah pandangannya (9), dan dalam video “Has Science Discovered God?” (Sudahkah Ilmu Pengetahuan Menemukan Tuhan?), ia secara terbuka menyatakan bahwa ia percaya pada perancangan cerdas (intelligent design).
Di hadapan seluruh perkembangan ilmiah sebagaimana dipaparkan di atas, pengakuan adanya perancangan cerdas (intelligent design) oleh Anthony Flew, yang terkenal sebagai pembela ateisme selama bertahun-tahun, mencerminkan sebuah pemandangan terakhir dalam proses keruntuhan yang dialami ateisme. Ilmu pengetahuan modern telah menyingkap keberadaan suatu “kecerdasan yang meliputi alam semesta”, yang dengannya menyingkirkan ateisme.
Dalam bukunya “The Hidden Face of God” (Wajah Tersembunyi Tuhan), Gerald Schroeder, salah seorang ilmuwan pendukung penciptaan yang berpengaruh dalam merubah keyakinan Anthony Flew, menulis: “Sebuah kesadaran, kearifan universal, meliputi alam semesta. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, khususnya yang meneliti sifat quantum dari materi penyusun atom, telah menggiring kita mendekati pemahaman yang mengejutkan: seluruh keberadaan adalah perwujudan dari kearifan ini. Di laboratorium-laboratorium, kita mendapatinya sebagai informasi yang pertama-tama secara fisik mewujud sebagai energi dan kemudian terpadatkan hingga menjadi bentuk materi. Setiap partikel, setiap wujud, dari atom hingga manusia, terlihat mewakili satu tingkatan dari informasi, dari kearifan.”
Penelitian ilmiah terhadap cara kerja sel dan partikel-partikel penyusun atom materi telah mengungkap fakta ini tanpa dapat dibantah: Kehidupan dan alam semesta dimunculkan menjadi ada dari ketiadaan oleh kehendak dari suatu wujud yang memiliki kecerdasan dan kearifan yang mahatinggi. Tidak ada keraguan bahwa pemilik pengetahuan dan kecerdasan yang meliputi alam semesta di seluruh tingkatannya adalah Allah Yang Mahakuasa. (Bersambung)

1 Vote

Tuhan Baru (3)

 

Tuhan Baru (3)

This entry is part 3 of 5 in the series Tuhan Baru

Dr. Muhsin Labib
A Matter of a New Physics
Teori kuantum juga mengumumkan adanya keterkaitan esensial dari alam semesta. Ia juga memperlihatkan bahwa kita tidak dapat mendekomposisikan dunia ke dalam unit-unit terkecil yang ada secara bebas. Bila menembus ke dalam materi, maka akan ditemukan bahwa ia terbuat dari partikel-partikel, tetapi semua ini bukanlah merupakan balok-balok bangunan dasar. Teori kuantum memaksa kita untuk melihat alam semesta bukan sebagai suatu kumpulan objek-objek fisik, melainkan lebih sebagai jaringan rumit dari relasi antar berbagai bagian dari suatu keseluruhan yang menyatu.
Riset terbaru dalam fisika yang bertujuan menggabungkan dua teori dasar, teori kuantum dan teori relativitas, menjadi sebuah teori lengkap tentang partikel-partikel subatom. Dan ini semua adalah perkembangan dari sains. Sains mempunyai dua makna. Jika kita menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah “sebuah kenyataan sempurna,” maka kita akan melihat sains sebagai ‘hanya’ kebenaran inderawi saja. Sains pernah mengukuhkan bahwa kebenaran mutlak didasarkan pada panca-inderwi saja. Pandangan ini disebut “saintisme”. Karena itu, pertanyaannya adalah, “Apakah ada suatu hakikat yang berada di luar sains?” Saintisme akan menjawab tak ada. Kebenaran dan realitas hanyalah realitas material yang bisa dideskripsikan melalui hukum-hukum sains semata, menurut saintisme.
Ternyata saintisme ‘menjerumuskan’ para para fisakawan kuantum kepada sebuah ‘paradoks’ yang tidak direncanakan. Hal itu karena, sekarang seseorang bisa melihat “tanda-tanda” bahwa sains membawa kita kepada suatu hakikat kesatuan wujud (monisme). Tentu saja, tanda-tanda bukanlah “bukti”, tetapi tetaplah itu merupakan “sesuatu” yang perlu dieksplorasi.
Teori Kuantum berhasil menjelaskan ribuan gejala fisika; susunan berkala unsur-unsur dan terjadinya reaksi kimia, kerja laser dan mikrochip, kestabilan DNA dan penembusan partikel alfa ke inti atom. David Bohm dalam bukunya,”The Wholeness and The Implicate Order” (1980) menjelaskan hasil eksperimen kuantumnya bahwa seluruh tatanan alam wujud yang disebutnya dengan ‘explicate order’- berasal dari suatu sumber yang sama, yaitu apa yang disebutnya ‘implicate order’.
Pada tahun 1900, fisikawan berkebangsaan Jernam Max Planck (1858-1947), memutuskan untuk mempelajari radiasi benda hitam. Beliau berusaha untuk mendapatkan persamaan matematika yang menyangkut bentuk dan posisi kurva pada grafik distribusi spektrum. Planck menganggap bahwa permukaan benda hitam memancarkan radiasi secara terus-menerus, sesuai dengan hukum-hukum fisika yang diakui pada saat itu. Hukum-hukum itu diturunkan dari hukum dasar mekanika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Namun dengan asumsi tersebut ternyata Planck gagal untuk mendapatkan persamaan matematika yang dicarinya. Kegagalan ini telah mendorong Planck untuk berpendapat bahwa hukum mekanika yang berkenaan dengan kerja suatu atom sedikit banyak berbeda dengan hukum Newton.
Max Planck mulai dengan asumsi baru, bahwa permukaan benda hitam tidak menyerap atau memancarkan energi secara kontinyu, melainkan berjalan sedikit demi sedikit dan bertahap-tahap. Menurut Planck, benda hitam menyerap energi dalam berkas-berkas kecil dan memancarkan energi yang diserapnya dalam berkas-berkan kecil pula. Berkas-berkas kecil itu selanjutnya disebut kuantum. Teori kuantum ini bisa diibaratkan dengan naik atau turun menggunakan tangga. Hanya pada posisi-posisi tertentu, yaitu pada posisi anak tangga kita dapat menginjakkan kaki, dan tidak mungkin menginjakkan kaki di antara anak-anak tangga itu. Dengan hipotesa yang revolusioner ini, Planck berhasil menemukan suatu persamaan matematika untuk radiasi benda hitam yang benar-benar sesuai dengan data percobaan yang diperolehnya. Persamaan tersebut selanjutnya disebut Hukum Radiasi Benda Hitam Planck yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan dari suatu benda hitam berbeda-beda sesuai dengan panjang gelombang cahaya. Planck mendapatkan suatu persamaan: E = hn, yang menyatakan bahwa energi suatu kuantum (E) adalah setara dengan nilai tetapan tertentu yang dikenal sebagai tetapan Planck (h), dikalikan dengan frekwensi (n) kuantum radiasi.
Hipotesa Planck yang bertentangan dengan teori klasik tentang gelombang elektromagnetik ini merupakan titik awal dari lahirnya teori kuantum yang menandai terjadinya revolusi dalam bidang fisika. Terobosan Planck merupakan tindakan yang sangat berani karena bertentangan dengan hukum fisika yang telah mapan dan sangat dihormati. Dengan teori ini ilmu fisika mampu menyuguhkan pengertian yang mendalam tentang alam benda dan materi. Planck menerbitkan karyanya pada majalah yang sangat terkenal. Namun untuk beberapa saat, karya Planck ini tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat ilmiah saat itu. Pada mulanya, Planck sendiri dan fisikawan lainnya menganggap bahwa hipotesa tersebut tidak lain dari fiksi matematika yang cocok. Namun setelah berjalan beberapa tahun, anggapan tersebut berubah hingga hipotesa Planck tentang kuantum dapat digunakan untuk menerangkan berbagai fenomena fisika. Bohm berkata lagi bahwa,”The implicate order is continually unfolding, become explicate. But behind the explicate order the implicate is always present, so in that sense the whole universe is implicated behind every explicit form”. Apa yang “mengherankan” dari Fisika. Bohm menjelaskan adanya ‘the implicate order’ dalam fisika, yang jelas bukan kebiasaan fisika. Tetapi nyatanya, spekulasi-spekulasi fisika sekarang memasuki tema-tema semacam teologis. Suatu perubahan besar dalam sains klasik pasca renaissans yang “menafikan” hal-hal non-inderawi dlm diskursus sains. Karena memang belakangan ini konsep kuantum disejajarkan dengan filsafat timur, malah dipakai untuk meneliti rahasia kesadaran, kehendak bebas dan paranormal.
Dalam buku Bohm yang lain, “The wholeness of Life“ (1978), “The Ending of Time” (1985) dan “The Future of Humanity” (1986), David Bohm membuat percakapan panjang dengan J. Krishnamurti, tokoh spiritual yang juga dikenal filsuf mistik India paling konversial abad ini. Pertemuan Bohm dengan Krishnamurti, dan dedikasinya dalam spiritualitas sains ternyata ikut mempengaruhi pandangan-pandangan fisikanya. Ini termuat dlm buku utamanya, yang sudah disebutkan diatas, “The Wholeness and The Implicate Order” (1980). Penting diketahui disini, istilah ‘wholeness’ (diterjemahkan sebagai “holistik”, yakni keseluruhan, kesatuan atau juga keutuhan) memang merupakan istilah yang amat disukai sebagai paradigma-baru dlm mendekati sains.
Menurut Bohm, materi adalah manifestasi dari ‘implicate order’ tatanan yang ada di balik yang “ada” ini – seperti pusaran air adalah manfestasi dari air. Materi sebenarnya tidak bisa direduksi menjadi partikel-partikel yang lebih kecil (seperti pandangan reduksionisme sains newtonian). Seperti materi, dan segala sesuatu yang ada di alam ini, partikel-partikel adalah manifestasi dari ‘implicate order’ ini. Realitas, pada dasarnya adalah sebuah kesatuan utuh yang tak terbagi-bagi, yang disebutnya dengan istilah “unbroken wholenesss”. Sehingga, karena ini menyangkut penafsiran tentang kenyataan alam, fisika perlu membalik cara penafsiran alam yang selama ini digunakan daripada memulai dari bagian-bagian dan kemudian menganalisanya (reduksionisme), lebih baik fisika menaruh perhatian pada keseluruhan dan dari sini menjelaskan bagian-bagiannya (holisme), karena alam yang ‘explicate’ ini adalah manifestasi dari ‘implicate order’.
Dilihat dari perwujudannya, memang seolah-olah bagian-bagian alam ini kelihatan tidak berhubungan sama sekali. Karena itulah, dalam fisika klasik diyakini bahwa alam bisa dipecah-pecah dalam kesatuan lokal (atau yg biasa disebut reduksionisme). Padahal segala sesuatu itu, dari sudut ‘implicate order’, jelas merupakan satu kesatuan utuh yang tak terbagi-bagi (atau yang sering disebut holistik/wholeness). Dengan begitu, teori fisika ini akhirnya, seperti kata Bohm, telah meruntuhkan gagasan klasik tentang dunia yang dapat dianalisis lewat bagian-bagiannya secara lepas dan terpisah seperti pada pandangan Descartes dan fisikawan klasik sejak Newton, yang sekarang ditentang habis-habisan oleh fisikawan “holistik” sepeti Bohm. Dan ada baiknya kalau kita ketahui hal-hal yang diyakini oleh Fisikawan fisika klasik tentang dunia material. Diantaranya dinyatakan bahwa alam semesta menyerupai mesin raksasa dalam kerangka ruang waktu mutlak. Dan juga mereka meyakini Hukum Newton yang menyimpulkan, setiap gerak mempunyai sebab. Jika sebuah benda bergerak, kita selalu bisa mencari penyebabnya.
Kesimpulannya, Bohm meyakini adanya Satu Sumber dari seluruh tatanan wujud alam semesta ini. Jika banyak fisikawan begitu sulit menerima filsafat Bohm tentang ‘implicate order’ ini karena dianggap terlalu spekulatif dan tak ada bukti empirisnya maka hal ini disebabkan (karena) fisikawan itu masih menuntut untuk mengetahui, “apa implicate order dari implicate order itu.” Bohm menjawab bahwa implicate order adalah implicate-order dari “itu-yang-ada” (that-which-is). Sebaliknya, “itu-yang-ada” merupakan implicate-order itu sendiri.
Cara berpikir fisika ala Bohm ini, tentu saja memusingkan kepala banyak fisikawan yang masih dipengaruhi cara berpikir lama, dengan mode logika Aristotelian yang meneguhkan prinsip identitas. Prinsip ini memang selalu minta penjabaran. Kalau “yang ada” itu “ada”, maka “yang tidak ada.” Ya, “tidak ada.” Begitu bunyi prinsip ini. Cara berpikir identitas ini memang perlu untuk urusan sehari-hari sebagai cara memahami aspek teknik dalam sains, tetapi tidak menjelaskan apa-apa mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, apa yang terjadi, “yang tidak ada”, adalah “ada”. Kata Bohm “ada” dan “tidak ada” adalah ‘that-which-is’ itu. “There is nothing which is no that-which-is
Cara berpikir paradoksal ini memang sudah cukup lama dalam kearian-kearifan timur klasik yang diadopsi Bohm untuk “memandang” fenomena alam fisik dengan paradigma baru, karena – baik Bohm maupun kearifan timur klasik (termasuk para sufi) telah terbiasa dengan mistisme yang memang paradoksal. Dalam bahasa Bohm, fisika perlu menanyakan apa ‘implicate order’ dari ‘implicate order’ tadi. Karena, fisika selama ini mempersepsi segala sesuatu hanya dari sudut ‘explicate order’-nya, dari persepsi pancaindera saja. Fisika, karena dipangaruhi tradisi Cartesian tadi, memisahkan keduanya. Bahkan, akhirnya menganggap ‘implicate order’ sebagai sesuatu yang sama sekali tidak perlu dibicarakan, karena tidak empiris.
Sampai disini sangat menarik sekali kita perhatikan, karena Bohm memakai cara pandang filsafat-mistik ala Ibn al-’Arabi dan juga Nicola de Cusanus, yaitu “coincidentia oppositorum”, yaitu penyatuan dari dua yang bertentangan. Yang mengejutkan adalah kesimpulan-kesimpulannya mirip sekali dengan pandangan kesatuan wujud (‘oneness of being’ atau istilah sufi Ibn al-’Arabi yang dipermak secara filosofis oleh Molla Shadra, wahdah al-wujud). Karena itulah, kalangan “New Physics” ini sering dituduh sebagi panteis. Sebuah tuduhan yang benar adanya, sejauh “panteisme” itu diartikan sebagai Tuhan yang imanen terhadap alam.
Begitulah, dengan para pemikir New Physics ini, akhirnya spekulasi teoritis New Physics, memang menjauhkan diri dari asumsi fisika klasik tentang alam yang dapat dipecah-pecah dalam kesatuan lokal. New Physics, mulai berbicara tentang pandangan-pandangan alam yang lebih harmonis, ekologis, dan saling tergantung. Pandangan yang disebut “holistik” ini makin memperlihatkan kesejajaran antara fisika dengan mistisme, yang sekarang ini mulai “diakui” sah oleh para fisikawan sendiri. Pertemuan ini bisa terjadi justru karena terbukanya ruang paradoks dalam penjelasan teori fisika.
Fisika ini juga telah memperlihatkan batas-batas fisika, yaitu batas-batas epistemologis yang tidak bisa ditembus manusia. Ada “akhir dari sains” dalam istilah Gary Zukav. Maksudnya, semua sains, yang selama ini didefinisikan sebagai ilmu yang objektif, sekarang dipertanyakan keabsahannya.”Esensi fisika kuantum adalah ketidakpastian,” kata Paul Davis, “ramalan dalam teori kuantum lebih bersifat kemungkinan, bukan kepastian.”
Fisika modern, kemudian, menggambarkan materi sama sekali bukan sebagai sesuatu yang pasif dan lamban, tapi mewujudkan dalam tarian yang berkesinambungan dan gerak yang bergetar yang pola-pola ritmisnya ditentukan oleh strukturnya molekul, atom, dan nulkir. Hal ini juga merupakan cara yang didalamya para sufi timur melihat dunia immateri. Mereka menekankan bahwa alam semesta harus dipahami secara dinamis, karena ia bergerak, bergetar, dan menari; bahwa alam tidak berada dalam posisi berhernti, tetapi dalam titik keseimbangan dinamis.
Para ilmuwan sendiri telah merumuskan empat gaya alami yang mengatur matematika tata letak dan tata gerak semesta. Pertama adalah gravitasi yang membuat materi bermassa saling tarik. Kedua adalah elektromagnetika yang bekerja pada muatan listrik yang diam dan bergerak, termasuk antara inti atom dan elektron. Ketiga adalah interaksi lemah yang mengikat inti atom. Dan keempat adalah interaksi kuat yang mengikat partikel yang menyusun inti atom.
Einstein berhipotetis bahwa gaya gravitasi dan elektromagnetik sebenarnya adalah satu macam gaya. Tapi hingga ia meninggal, hipotetis itu belum dibuktikannya. Saat ia meninggal, gaya interaksi kuat dan interaksi lemah belum dirumuskan. Saat ini sebagian besar ilmuwan sependapat bahwa keempat jenis gaya ini merupakan turunan dari sistem yang sama.
Gaya elektromagnetik yang mengikat inti atom dengan elektron dapat dilepas dengan energi satu elektron-volt (eV). Jadi dengan energi sebesar 1 eV itu, medan elektromagnetik dapat dilawan. Energi ini sebanding dengan suhu 10000 kelvin (sepuluh pangkat empat kelvin).
Weinberg, Glashow, dan Abdussalam menemukan bahwa elektromagnetika dan interaksi lemah merupakan gaya yang sama pada energi 10 pangkat 11 elektron-volt (eV) atau suhu 10 pangkat 15 kelvin. Hawking dkk berambisi menyatukan paduan elektrmagnetik-interaksi lemah ini dengan interaksi kuat, yang diperkirakan membutuhkan energi 10 pangkat 24 elektron-volt atau suhu 10 pangkat 28 kelvin. Pada saat itu Hawking meramalkan bahwa kita dapat merumuskan GUT [grand unification theory]. Dari perhitungan terakhir, gaya gravitasi pun ternyata memiliki potensi untuk bergabung dengan gaya lain pada energi yang setara dengan dengan suhu 10 pangkat 32 kelvin. Jadi, pada suhu di atas 10 pangkat 32 kelvin, kita tidak mengenal keempat rawasiya di atas. Tidak ada interaksi yang mengikat materi, dan artinya juga: tidak ada materi.
Karena Einstein menemukan bahwa elektromagnetik, yang selama ini dipandang sebagai gelombang [energi], dapat dipandang juga sebagai satuan-satuan kecil yang bulat. Ini kemudian membuka lahan baru ilmu fisika yang disebut dengan teori kuantum. Teori kuantum memandang setiap bentuk gelombang energi sebagai paket-paket kecil berbilangan bulat. Contohnya, kita bisa memperoleh cahaya sebesar satu paket, dua paket, dll, tapi tidak bisa setengah paket. Fokus pertama teori kuantum adalah pada gelombang elektromagnetik, termasuk cahaya. Satu paket kuantum cahaya disebut sebuah foton. Foton memiliki energi sebesar hasil kali frekuensinya dengan tetapan yang disebut tetapan Planck. Interaksi lemah ditransmisikan oleh kuantum W dan Z, yang dihipotetiskan Weinberg, Glashow, dan Abdussalam, dan baru dibuktikan keberadaannya tahun 1983. Kuantum W dan Z secara umum disebut boson madya. Interaksi kuat dibawa oleh kuantum yang disebut gluon. Namanya gluon, glue, lem, karena partikel ini digambarkan sebagai lem yang melekatkan quark-quark dalam satu inti atom. Gluon terbukti ada pada tahun 1979.
Kuantum pembawa gravitasi masih belum berhasil ditampakkan, karena membutuhkan energi yang terlalu besar untuk bisa melihatnya. Secara hipotetis, kuantum ini dianggap ada dan dinamai graviton. Dalam skala amat kecil itu, paket-paket kuantum tampak seolah-olah sebagai partikel. Dan memang pada skala itu tidak mungkin didefinisikan beda energi yang sudah berbentuk paket itu dengan partikel. Jadi akhirnya kita terbiasa menyebut partikel W dan Z, partikel gluon, dll.
Dan partikel-partikel yang sangat-sangat halus ini lah yang digunakan sebagai sarana mengatur kelangsungan alam semesta. Bayangkan, alam semesta yang luar biasa berat ini bergerak teratur dalam lintasannya, dari skala yang sedemikian besar, sampai bagian-bagian terkecilnya, atas sarana partikel-partikel halus ini.
Dan partikel-partikel kuantum halus ini dapat mengalir dengan mudah. Tidak seperti materi lain, partikel kuantum mampu bergerak pada kecepatan cahaya. Partikel-partikel ini, seperti telah dijelaskan, berbagi urusan. Gluon mengikat quark menjadi proton dan netron. Boson madya mengurusi ikatan inti atom kecil dalam inti atom besar. Foton menjadi pengurus ikatan inti atom dengan elektron menjadi atom serta melakukan urusan- urusan lain yang berkait dengan kelistrikan, kemagnetan, gelombang elektromagnetik [cahaya, sinar x, radio, televisi, telepon seluler], dan juga berkecimpung dalam bisnis kimia. Graviton bermain dalam bisnis konstruksi massa atom-atom dalam jumlah fantastis yang membentuk bintang dan planet, tatasurya, galaksi, supercluster, dan mengatur gerak benda-benda berat itu dalam lintasan yang pasti.
Faktanya, dalam teori kuantum kita tidak pernah berakhir dengan ‘benda’ apa pun; kita senantiasa berurusan dengan saling berhubungan (interkoneks). Inikah yang disebut dalam teologi Islam dengan Burhan an-Nizham? (bersambung)