Tuesday, November 11, 2014

Anatomi Kezaliman




Anatomi Kezaliman

By DR.Muhsin Labib. via FB


 . Kezaliman memiliki dimensi dan anatomi yang ‘megah’. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk terhadap diri sendiri.


Bertindak zalim berarti ‘meletakkan sesuatu pada selain tempatnya’. Karena keburukan adalah ketidak selarasan, maka kezaliman merupakan sentra keburukan. Begitu megahnya kezaliman, sehingga ia memiliki dua fakultas: intelektual (pikiran) dan aktual (perbuatan). Kezaliman intelektual adalah berpikir zalim, atau meletakkan pikiran pada selain tempatnya, seperti meyakini yang salah sebagai benar, dan sebaliknya, serta meyakini sesuatu bukan karena kebenarannya, tetapi karena sesuatu yang lain.

Terdapat dua macam kezaliman intelektual, berdasarkan akibatnya: kezaliman intelektual non-teologis, yaitu pemahaman nir-bukti tentang masalah-masalah yang tidak berpengaruh secara tidak langsung terhadap spiritualitas dan nasib kita di akhirat; dan kezaliman intelektual teologis, yaitu pemahaman yang irasional tentang masalah-masalah yang sangat berpengaruh terhadap ‘karir’ kehambaan kita. Puncak kezaliman intelektual adalah penolakan terhadap wujud Tuhan dan syirik: Sesungguhnya syirik benar-benar kezaliman yang besar. Allah juga menganggap orang-orang yang menolak kebenaran (kufur) sebagai pelaku kezaliman, dan orang-orang kafir adalah orang-orang yang aniaya (zalim).

Seseorang yang berpikir zalim akan dengan mudah berlaku zalim (kezaliman aktual). Implikasinya, pikiran zalim bisa melahirkan perbuatan zalim. Bertindak zalim berarti meletakkan tindakan pada selain tempatnya, seperti mendistribusikan dusta demi meraih simpati atau mengalihkan perhatian orang dari keburukan dirinya, membunuh binatang yang tidak menganggu karena iseng (just for fun), merusak lingkungan hidup, menghina orang dengan kedok ‘bergurau’, dan yang paling gres, menyetujui konspirasi yang bertujuan memasung hak kedaultan sebuah bangsa.

Kezaliman aktual, ditilik dari sasarannya, dapat dibagi dua. Pertama, kezaliman internal (kezaliman terhadap diri sendiri), yaitu kezaliman berupa perbuatan dosa yang tidak melibatkan pihak lain. Kita selalu dianjurkan untuk memulai doa dengan pengakuan telah berbuat aniaya terhadap diri sendiri. Inilah password untuk memasuki ruang pengampunan Tuhan: Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami. Andaikan Engkau tiada mengampuni kami, maka niscaya kami menjadi orang-orang yang rugi.

Kedua, kezaliman eksternal, yaitu kezaliman berupa perbuatan aniaya terhadap pihak di luar dirinya, seperti perusakan lingkungan, pemborosan sumber daya alam, penindasan hak-hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Kezaliman jenis ini tidak identik dengan status atau pihak tertentu: penguasa terhadap rakyat atau sebaliknya, majikan terhadap buruh atau sebaliknya, anak terhadap orang tua atau sebaliknya, serta suami terhadap istri atau sebaliknya.

Mengapa manusia dianggap telah berlaku zalim terhadap diri sendiri ketika melakukan perbuatan dosa? Menurut para ahli filsafat etika, setiap perbuatan dosa, pada hakikatnya, adalah penganiyaan diri. Ia memaksa dirinya melakukan perbuatan yang tidak selaras dengan karakteristik jiwanya, dan secara sengaja menceburkan diri ke dalam siksa Allah. Manusia zalim melakukan perusakan diri (self destruction). Ketika melakukan dosa, maka ia memang berencana untuk melakukan ‘aksi mogok’ di depan pintu surga-Ny

Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan setelah Nabi



Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan setelah Nabi

By DR.Muhsin Labib via FB

Salam

Izinkan saya mengeluarkan uneg-unegyang hanya mewakili perspektif saya pribadi terkait isu paling banyakmenghamburkan energi positif umat Islam, Sunni dan Syiah karena konflik yangdiciptakan oleh pihak ketiga maupun konflik yang muncul sebagai akibat kehendaksaling menafikan.


Kepemimpinan setelah Nabi


Biang Perbedaan

Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam? Bagaimanamendudukkan imamah dan khilafah dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaanpolitik? Benarkah kepemimpinan Imamah ala Syiah dan kepemimpinan Khilafah alaSunni bertentangan?

Secara etimologis, khalifah berasal dari khalafa, yangberarti menyusul, melanjutkan, dan lawan kata dari salafa, yang berartimendahului. Dari arti umum ini khalifah mencakup arti keseluruhan, suksesikepemimpinan. Ia bisa berarti nabi yang datang menggantikan nabi sebelumnya, sebagaimanaIsma’il dan Ishaq yang menggantikan posisi Nabi Ibrahim as, atau boleh jadiperson bukan nabi yang melanjutkan kepemimpinannya, sebagaimana sahabat yangdiyakini melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.

Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat duafungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan horisontal. Karena itu, personyang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan penggantiNabi dalam konteks vertikal ataukah horisontal. Meskipun khalifah mempunyaiarti luas, suksesi atau melanjutkan, khalifah telah terbatas pengertiannyadalam terapan yang bersifat sosial, politik, kenegaraan, teritorial danhorisontal. Sedangkan Imamah yang juga mempunyai arti luas bahkan mencakup imamsalat dan suami sekali pun, dalam kenyataannya, telah terbatas pengertiannyadalam terapan yang bersifat individual, spiritual, intelektual, universal danvertikal. Penjelasan ini penting agar ba-nyaknya istilah khilafah, imamah, imarahtidak mereduksi pengertian kepemimpinan horisontal dan vertikal. Dalamkenyataan historisnya, khilafah diterapkan sebagai kepemimpinan horisontal danimamah diterapkan sebagai kepemimpinan vertikal.
Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sinibermakna kepemimpinan pengganti Nabi (khalifah al-Nabi), bukan khalifah dalamayat 30 surah Al-Baqarah, khalifah fi al-ardh (khalifah di muka bumi). Khalifahpada ayat tersebut bermakna manusia sebagai spesies, bukan manusia sebagaiindividu. 

Sebagian kalangan Syiah menganggap dua frase itusama dalam makna sehingga menganggap kepemimpinan yang diklaim Sunni sebagaikontra kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Sebagian kalangan Sunnijuga menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagaidelegitimasi kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiahdan Sunni untuk membuktikan kebenaran pendapat masing-masing. Tulisan ini tidakberpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namunberusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.

Bila isu kepemimpinan ini dijelaskan secarakomprehensif de-ngan mengedepankan semangat mencari benang merah untuk diterimaoleh kedua belah pihak, maka jalan menuju kesepahaman dan rekonsiliasi terbukalebar. Salah satu syaratnya adalah membuang jauh-jauh tendensi klaim kebenaranmutlak yang secara logis tidak bisa diterima.

Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggapkonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai tandingan konsepkepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syiah menganggap konsepkepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah)yang diyakini Syiah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas darisentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secarasubstansial dan tidak niscaya saling menafikan.

Perbedaan Khilafah dan Imamah
Area
            Khilafahadalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secarastruktural setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orangdi luar area tersebut. Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampauibatas teritorial, daerah, negara, dan lainnya tetapi mengikat secara spiritualdan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya kelompok yang inginmengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepatguna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.
Objek
            Umatadalah pihak lain yang merupakan objek niscaya imam. Di dalam Alquran, surahYunus ayat 19 misalnya, Allah menyifatkan umat – ummah serumpun dengan imam danimamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsungantara Imam dan Ummah. Sedangkan khilafah mempunyai objek warga negara yangmembaiatnya. Dalam ayat Alquran, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural– syu’uban wa qabail.415 Di sinilah objek khilafah dan imamah menjadi benderang.

Relasi
            Kepemimpinanvertikal atau imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orang suci danmemiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontalatau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Meski tentu, Nabi, sebagaipemimpin umat (imam) diyakini telah terbukti menjadi pemimpin horisontal yangmenjalankan fungsi kepemimpinan administratif juga.
Keabsahan
            Syiahmeyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karena-nya, ia harus dipegang olehpribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang olehpribadi yang tidak suci. Karena itu, Syiah meyakini Ali sebagai pemimpin umat. SedangkanSunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritorialsebuah state (negara). Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagipemegangnya.
Pemangku
            Alibin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karenakepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihanmasyarakat. Ia seorang yang tidak pernah melakukan penyembahan berhala sejakkecil. Sedangkan Sunni menitikberatkan pada konsep keadilan bagi seorangkhalifah, yaitu tidak cacat moral.
Mekanisme
            Alibin Abi Thalib diyakini sebagai Imam dengan proses deklarasi pengangkatan olehNabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalamAlquran.416 Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakarsebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagaipemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syiahtidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat).  Dalam Syiah, baiat memang bukan syarat.
Fungsi
            Sebagaimanamekanisme imamah dan khilafah berbeda, maka fungsi imamah bersifat spiritual, bukaninstitusional sebagaimana dalam khilafah.  
Karakteristik
            Tolokukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan aksep-tabilitas. Sementarakonsep imamah, tak harus diterima oleh publik (sosial). Karena memang imamahtidak ada hubungannya dengan pilihan masyarakat. Ia adalah hak prerogatif Tuhanyang bersifat transenden dan divine. Persis sebagaimana Muhammad Saw ditunjuksebagai Nabi, publik suka atau tidak, setuju atau tidak, Muhammad tetaplahseorang Nabi. Selanjutnya, dalam berbagai ordo tasawuf pun, Imam Ali diyakinisebagai pemimpin para wali. Hubungan ini bersifat kepatuhan spiritual yangdidasarkan pada hubungan cinta bukan bersifat kepatuhan administratif. Kepatuhanadministratif ini lebih menekankan hubu-ngan tugas kelembagaan, antara atasandan bawahan.
Bentuk

Sebagaimanapernah dijelaskan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim as sebagai Imam dalam QS. Al-Baqarah[2]: 124 pada bagian pertama buku ini yang menunjukkan bahwa imamah merupakanproses penciptaan (takwini). Sementara bentuk khilafah adalah penetapan yangbersumber dari kontrak sosial (tasyri’i).


KritikSyiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritikterhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkanpenolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidakmemenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual.Sayangnya, sebagian orang Syiah, juga Sunni, menganggap imamah dan khilafahsebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan olehsentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan.


Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi
Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiahyang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadapkepemimpinan struktural itu. Misalnya, dengan memunculkan terma ‘perampasan hakkepemimpinan’, yang terkesan mereduksi Imamah menjadi Khilafah. Padahal, perampasantidak ada dalam konteks imamah. Imamah tak bisa dirampas dan diberikan olehsiapa pun. Menurut orang Syiah, syarat keterpilihan para khalifah terdahulumasih patut dipertanyakan. Jadi, kritik Syiah atas keterpilihan para khalifahbukan pada soal perampasan imamah, melainkan dalam hal proses pemilihan dankebijakan mereka selama menjadi khalifah.

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukungdan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatantersebut justru menjadi indikator bahwa syarat aksep-tabilitas publik telahterpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwakekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapanselamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannyakepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkanpeluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Alijelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisiImam tidak bisa dianulir. Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifatstruktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syiahberkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi
Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabidalam upaya menjaga kelancaran dan membina masyarakat ialah mengendalikanpemerintahan secara langsung. Langkah kedua ialah melakukan serangkaiankebijakan dengan perencanaan matang agar program ini tidak mandek denganmelancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral,mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian eratdengan umat.
Patut diingat bahwa reformasi menyeluruh memerlukanjangka waktu panjang dan menuntut adanya SDM yang dapat diandalkan untukmengawal pembinaan masyarakat sekaligus mengantisipasi hambatan dan gejala-gejalakelesuan yang bisa mengganggu.

Syiah meyakini bahwa Rasulullah Saw mempersiapkanAli sebagai pemimpin spiritual (agama) dan sekaligus struktural (politik). Karenamasyarakat kala itu belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjalankanpemerintahan berdasarkan Syura.

Kemudian setelah diteliti secara seksama situasidan kondisi yang ada, sistem kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi Muhammad Sawsesungguhnya mengikuti situasi sosiologis yang melingkupi umat Islam pada saatitu. Mengapa? Nabi sangat sadar bahwa masyarakat sepeninggalnya masih belumbersih dari karakteristik tribal yang amat jauh berjarak dari masyarakatberperadaban yang ideal.

Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, yakni; Pertama,Nabi tidak memikirkan pentingnya kepemimpinan sepeninggal beliau Saw. Asumsiini tentu tertolak karena bertentangan dengan sifat kepemimpinan Nabi yangharish, ra’uf dan rahim. Tidak mungkin Nabi membiarkan umat yang akanditinggalkannya terbengkalai tanpa pemimpin. Kedua, Nabi merencanakan suksesisepeninggal beliau Saw. Asumsi kedua ini terbagi menjadi dua kemungkinan, yaitu;pertama, bahwa Nabi telah membentuk masyarakat yang matang dan ideal untukmenjalankan prinsip-prinsip syura dalam menentukan pemimpin sosial, dan kedua, Nabimenyiapkan kader handal sebagai pemimpin yang akan mengantar terbentuknyamasyarakat beradab.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakatsesaat setelah Nabi wafat belum memenuhi syarat masyarakat pada kemungkinanpertama di atas. Hal ini ditunjukkan misalnya, tersisanya karakter tribal jahiliyahdan sentimen primordial di balai Saqifah dengan saling mengunggulkan klanmasing-masing. Oleh sebab itu, kemungkinan ini juga tertolak.


Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua diatas, sebagai seorang Nabi yang suci tentu merencanakan sosok kader yang handaluntuk membentuk masyarakat ideal. Sebagai seorang Rasul beliau bertugasmenghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan menjadi jalankeluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema kehidupan denganmenunjuk figur terbaik dan handal sepeninggal beliau. Selain itu, figurtersebut berfungsi untuk menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai yangterkandung dalam Alquran. 

Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dansempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiapperkara. Mereka niscaya memerlukan adanya kepemimpinan spiritual yangditetapkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw.


Kepemimpinan Spiritual dan Struktural
Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinanstruk-tural (politik).  Bila seorangkhalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadipanutan pemikiran atas dasar Alquran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Danterbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syaratpenting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bait dengan segalakemampuan mereka dan tergambar dalam nas serta bukti-bukti yang sudah ada.

Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih pentingdari kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Danakhirnya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpinspiritual  karena mempertimbangkan satudan sebab lainnya. Sampai-sampai Khalifah Kedua seringkali bersumpah denganmemuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah spiritual. la selaluberkata, “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akanmembiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidaksegera menyelesaikannya.”


Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasulwafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnyaterhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh danpemimpin dalam bidang spiritual, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikitmemandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka danbahkan menganggap mereka sebagai awam.

Secara nyata terbukti bahwa Ahlul Bait kehilanganfungsi isti-mewa sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan pudar di tengah-tengahpara sahabat. Mereka berstatus tidak lebih sebagai sahabat Rasul yang sama-samaberhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin spiritual.


Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah parasahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang memintadarah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang merekakobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekuen terhadapnilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.

Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduhyang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulahtimbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakatIslam.

Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah
Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau formattertentu tentang kepemimpinan? Adadua jawaban, ya dan tidak. Ya, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinankeagamaan. Tidak, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan sosialkenegaraan. Sejak Abu Bakar sampai Ali tak ada satu konsep baku mengenai mekanisme penunjukan khalifah. Bahkanseandainya peristiwa di Saqifah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihanpemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut. Nyatanya,Abu Bakar lebih memilih untuk menunjuk Umar secara langsung –kemudian diikutisahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitu pula ketika Umar terluka, beliaulebih memilih enam orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifahsetelahnya, dan begitu seterusnya.

Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus menga-lamiperubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwakonsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalamiperubahan. Penikmat sejarah akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu darisekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Sistem khilafahsama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep,yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apa pun namanya, merupakansalah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.
Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakan parakhalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekali pun bisa ditafsirkan seba-gaikeputusan keagamaan, karena semata kebijakan politik.

Banyak pihak menduga keputusan Abu Bakar memerangikaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagaikeputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik semata. AbuBakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai sinyal bahaya yang mengancamkesatuan negara setelah wafatnya Rasul Saw dan perlu segera diambil tindakan. Memahamikebijakan harb al-riddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagaikonsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar sendiri sempat protes, “Bagaimanabisa engkau hendak memerangi orang-orang yang masih menghadap kiblat (salat)?”

Selain itu, zakat termasuk salah satu devisaterbesar negara waktu itu di samping harta rampasan (ghanimah). Kebijakan AbuBakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakattak lagi diurus oleh negara, tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaummuslimin tanpa intervensi negara. Di sini, penamaan harb al-riddah bisadipahami sebagai “tendensi politik”, karena muslim yang tidak mengeluarkanzakat secara ijmak bukanlah murtad. Bisa jadi keputusan Bani Tamim yang tak maubayar zakat pada negara bermuatan politis karena pengangkatan Abu Bakardianggap tidak memenuhi quorum.

Khalifah kedua, Umar bin Khatthab, juga demikian. Khalifahyang terkenal pemberani ini banyak melakukan terobosan kontroversial. BahkanUmar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisalkebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, ataukebijakan Umar yang tak mau memberi jatah golongan muallaf karena keislamanmereka yang masih dianggapnya oportunistik.

Tribalisme atas Nama Khilafah
Faktor lain yang turut melanggengkan konflik iniadalah upaya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah memanipulasi isu kepemimpinan inidengan memberi warna keagamaan atas kepemimpinan formal administratif ini demimemberikan legitimasi atas kekuasaannya yang tidak memenuhi syarat kepemimpinanspiritual (imamah) dan syarat kepemimpinan formal struktural, serayamengampanyekan bahwa kekuasaannya adalah kepanjangan dari kepemimpinan tigakhalifah.

Akibatnya, sebagian orang Sunni terpengaruh dancenderung menganggap konsep kepemimpinan Syiah sebagai antikepemimpinan yangdiyakini Sunni. Selanjutnya, ditafsirkan secara ekstrem sebagai penghinaanterhadap para khalifah tersebut. Konflik makin sengit manakala melebar kepersoalan-persoalan keagamaan lainnya, sehingga terbelahlah tubuh umat yangsatu menjadi dua; Sunni dan Syiah.


Kritik terhadap Khalifah
Kritik Syiah terhadap khalifah-khalifah bersifatpolitis semata. Hal itu karena bagi Syiah, kepemimpinan keumatan (imam) adalahmasalah final yang tidak terkait secara langsung dengan kepemimpinan struktural.Artinya, meski menerima dua jenis kepemimpinan; keumatan dan kemasyarakatan, tidakniscaya Syiah tidak mengkritik dan mengajukan keberatan terhadap para khalifahitu terkait elektabilitas, kredibilitas dan kebijakan-kebijakannya selamamenjadi pemimpin negara.

Tidak hanya Syiah yang meyakini khalifah bukanlahimam, tapi juga Sunni. Dengan meyakini tiga khalifah bukan imam, denganmelakukan penunjukkan secara personal, itu semuanya mengonfirmasi bahwa Sunnitidak sedang membicarakan kepemimpinan ketuhanan yang menjadi pilar pentingmazhab Syiah.

Dengan begitu kita bisa membedakan dua jeniskepemimpinan ini. Kepemimpinan ala Syiah adalah jenis kepemimpinan spiritualyang sifatnya vertikal. Konsep kepemimpinan yang dibangun karena meyakini Nabisebagai orang yang mendapatkan legitimasi ketuha-nan pasti menunjuk orang untukmenggantikannya. Sementara kepemimpinan struktural dibangun atas dasarakseptabilitas publik. Sehingga boleh jadi seorang imam juga bisa sekaligusmenjadi pemimpin struktural (khalifah) kalau memang diterima oleh masyarakatnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hasan dan Husainadalah dua Imam, baik berkuasa maupun tidak berkuasa.” Artinya baik saatkepemimpinan politik atau administrasi ia pegang atau pun tidak, merekatetaplah Imam.

Dalam konteks ini muncul dua istilah yangsebetulnya berbeda, tetapi sering disalahpahami sebagai satu hal yang sama, yaitukepemimpinan dan kekuasaan. Seorang pemimpin dalam pengertian Imam tidaklah harusberkuasa. Karena kekuasaan dibangun de-ngan media pemilihan atau kekuatan. Iaambil kekuasaan itu dengan kekuatan (pemaksaan) atau dengan pemilihan (akseptabilitaspublik).
Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya adalahlegitimasi ketuhanan, sedangkan Khilafah yang basisnya adalah pilihan danakseptabilitas publik, bukan berarti keduanya tidak bisa bertemu dalam satubentuk dan beririsan antar keduanya. Bisa jadi Khilafah dan Imamah berlakudalam satu sistem, sebagaimana Imam Ali saat menjabat sebagai Khalifah keempat.Sehingga, jika sejak awal Imamah dipahami sebagai kepemimpinan spiritual, makatidak seperti anggapan sebagian Sunni, imamah Ali bin Abi Thalib tidak gugurmeskipun dia tidak menjabat sebagai khalifah.

Kesimpulan
Ternyata kesalahpahaman yang tidak segeradiklarifikasi akan menjadi objek dramatisasi dan bahan bagi pihak ketiga untukme-ngadu domba dua kelompok besar umat Islam. Lemahnya posisi umat Islam didunia merupakan akibat nyata dari sektarianisme yang menjangkiti kedua kelompoktersebut dan masuknya isu-isu lain ke dalam isu perbedaan interpretasi tentangkepemimpinan.

Mungkin hipotesa dan analisa di atas tidak direstuioleh para pemegang otoritas dalam dua kelompok Sunni dan Syiah, namun yangperlu digarisbawahi ialah, reinterpretasi konsep kepemimpinan setelah Nabi diatas tidak mereduksi konsep Khilafah yang umum diyakini oleh kalanganmainstream Sunni dan tidak pula mendistorsi substansi kepemimpinan Imamah yangdipegang teguh oleh kalangan Syiah.

Dengan paparan di atas, kalangan Sunni secara defacto menerima kepemimpinan esoterik Ali dan Ahlulbait, sebagaimanaterkonfirmasi melalui ragam riwayat dalam referensi-referensi utamanya, terutamadi kalangan sufi. Sementara kalangan Syiah secara de facto menerimakepemimpinan eksoterik khilafah yang diusung oleh Sunni, yang dimulai dari AbuBakar.
Tentu penerimaan de facto Sunni terhadapkepemimpinan esoterik (keagamaan) dan penerimaan de facto Syiah terhadapkepemimpinan kenegaraan (sosial) tidak bisa menjadi alasan untuk fusi ataupeleburan dua bangunan peradaban yang telah berdiri menjulang ini. Keduanyaadalah realitas natural dan historis yang mesti diapresiasi sebagai kekayaan. PenunjukanNabi membuahkan legitimasi yang bersifat vertikal dan pemilihan publikmenghasilkan akseptablitas yang bersifat horisontal.

Menjadi Sunni atau Syiah bukanlah kesalahan. SeorangMuslim yang dibentuk karena asas ketauhidan dan kerasulan Muhammad, sebagaimanatercakup dalam dua kalimat syahadat, harus menafsirkan dua konsep kepemimpinan,Khilafah dan Imamah, sebagai konsekuensi dari dua perspektif yang berbeda.

Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harusmengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahumencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yangmenjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memosisikan parakhalifah dan sahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidakdiyakini kekhalifa-hannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syiah perlumakin aktif mene-gaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidakbersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaankepada Nabi Saw dan bahwa orang yang tidak memosisikan mereka sebagai imamtidak menyebabkannya keluar dari Islam. (Mohon tidak dishare. Tulisan inidikutip dari buku SYIAH MENURUT SYIAH yang akan segera diterbitkan oleh DPPABI).