Wednesday, September 11, 2013

SULTAN HAMID.II,KORBAN “MINORITY REPORT”


Sul;tan Hamid.II, ketika memasuki Ruang Sidang Mahkamah Agung,



SULTAN HAMID.II,KORBAN “MINORITY REPORT”

Baru baru ini, ditanah kelahirannya, Pontianak, Kalimantan Barat, telah di launching sebuah buku tentang beliau ini. Sultan Hamid.II, Sang perancang lambang Negara, Elang Rajawali, Garuda Pancasila, judulnya.  Ditulis oleh :  Ansyari Dimyati, Dkk. Kita  sebut saja mereka ini sebagai “ Tiga serangkai,Pencari  Keadilan,”

Terlepas dari diakui atau tidaknyanya peran dan jasa beliau, saya teringat pernah menonton sebuah film produksi Holywood,judulnya “Minority Report” dengan bintang utama : Tom Cruise, salah satu actor handal di negeri Paman Sam itu.

Dalam film itu diceritakan, America masa depan,pada tahun : 2025, kalau saya tidak salah. Syahdan pada masa itu, diberlakukan hukum, bahwa seseorang dapat dihukum karena niatnya yang belum atau baru akan terjadi belakangan. ia dapat ditangkap dan diadili karena niatnya itu. alkisah sang penegak hukum tersebut di komandani oleh Tom Cruise, memiliki satu unit perangkat penegak hukum dengan peralatan serba canggih dan modern, futuristic, termasuk pesawat mini yang bisa take off dan landing vertical, sehingga bisa bergerak cepat dalam hitungan menit, meluncur ke lokasi kejahatan yang akan terjadi tersebut.

pertanyaanya , darimana mereka dapat informasi kejahatan itu akan terjadi?

Ternyata mereka menggunakan dua manusia kembar, cenayang,yang mereka paksa memberikan gambaran kejadian berdasarkan kilatan penglihatan mereka berdua itu. Kedua manusia yang memiliki kemampuan melihat masa depan ini, mereka tempatkan dalam satu wadah semacam kolam renang mini, dimana mereka berdua mengapung diatasnya. Kilatan fikiran mereka diterjemahkan oleh alat yang dipasang di kepala mereka, (mirip headset  untuk mendengarkan music.) Kilatan penglihatan mereka dibaca dan diterjemahkan oleh komputer dalam bentuk keluarnya bola kayu, berwarna merah.
Dari visualisasi gambar yang mereka rangkai dari potongan – potongan kilatan penglihatan itu, kemudian di simpulkan nama, tempat,tanggal dan waktu kejadian itu akan terjadi.

Gambar itu kemudian di tranmisikan secara online kepada jaksa dan kepada hakim, yang kemudian  menjatuhkan vonis, dan memerintahkan dilakukanya penangkapan atas tersangka yang diduga akan dilakukanya nanti.

Dengan demikian kejahatan dapat dicegah, dan si calon pelaku kejahatan tersebut dapat ditangkap dan langsung di tahan dengan cara dibekukan, dimasukkan dalam wadah berbentuk tabung, dibuat seperti dalam keadaan tertidur, mirip film “Demolition Man,” yang dibintangi, Silvester Stallone, si Rambo, Pahlawan Vietnam itu,-  denyut nadi dan detak jantung tetap di pantau, dan akan disadarkan kembali nanti, ketika vonis hukumanya telah berakhir, dan ia telah menjalani hukuman berupa”Dibekukan” selama rentang waktu masa hukumanya.

Cerita ini menjadi menarik, karena tanpa diduga, si cenayang memvisualisasikan si komandan (Tom Cruise) yang akan melakukan kejahatan berupa penembakan seseorang,  pada masa depan.

Bagaimana bisa?  Sedangkan dia adalah kepala team unit anti kejahatan tersebut?

Alhasil cerita menjadi seru, bagaimana si komandan berupaya menyelidiki kasus yang akan menyebabkan dirinya sendiri melakukan kejahatan. Ternyata, pada masa depan, si komandan akan mengalami kejadian berupa kehilangan anak tunggalnya, ditengah keramaian kolam renang umum. Putranya itu diculik dan tidak diketahui nasibnya. hal inilah yang membuat si komandan gelap mata. Dari penyelidikannya itu, dia  menemukan  si pelaku dengan bukti gambar korbanya di sebuah kamar hotel, yang berserakan diatas kasur, termasuk foto anaknya yang hilang.

Yang lebih menarik, inti ceritanya, ternyata bukan itu? Lalu gimana?

Ternyata,gambar visual yang dimunculkan si cenayang adalah hasil rekayasa untuk menutupi kasus sebenarnya yang sudah terjadi, berupa pembunuhan yang telah dilakukan oleh atasanya,  terhadap ibu kandung dari kedua cenayang yang mereka gunakan itu. 

Si Komandan, (Tom Cruise), melalui koleganya nekad melakukan perbuatan menculik si cenayang dan mengeluarkannya dari kolam tempat dimana mereka di tempatkan selama ini. tentu saja perbuatan ini menyebabkan si komandan, menjadi buronan yang paling dicari di negeri itu.

kisah bagaimana si komandan bersembunyi dan upaya mengungkap kejahatan sebenarnya yang sudah terjadi, dan melintas dalam kilatan penglihatan si cenayang ber ulang-ulang, itulah yang menjadi inti dari film ini. 

Mampukah si Komandan membuktikan bahwa ia tidak bersalah, bahwa sebetulnya visualisasi itu hanya rekayasa, bahwa ia, pada bagian akhir film, tidak jadi menembak si tersangka yang telah menculik anaknya itu?

Kalau mau lebih jelas, silahkan cari DVD nya, saya yakin banyak  dijual di pasaran.

Dalam kasus Sultan Hamid.II, kebetulan saya baca pledoinya,yang saya dapat dari transkrip tulisan di blog lentera timur, beliau juga di vonis bersalah dengan tuduhan yang sangat serius pada zaman itu, tahun 1953,  berupa tuduhan makar terhadap Negara, karena merencanakan penembakan tiga orang pejabat tinggi Negara, menteri Negara .

 Beliau, Sultan Hamid.II, di vonis sepuluh tahun penjara, dipotong masa tahanan tiga tahun  sebelum peradilan, dengan tuntutan delapan  belas tahun penjara oleh jaksa penuntutnya, atas kejahatan yang belum dilakukanya, atau batal dilakukanya. Tidak cukup sampai disitu, setelah bebas, beliau kemudian ditangkap lagi, dengan tuduhan merencanakan gerakan merongrong Negara, bersama  coleganya, yang dikenal dengan istilah “Bali Conection”

Ironis memang, seorang anak bangsa yang ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, dan menyumbangkan jasa besar dengan merancang lambang Negara berupa : Elang rajawali – Garuda Pancasila, yang kita gunakan hingga hari ini,- hidupnya terpuruk dari tahanan ke tahanan dari sel ke sel.

Sebelumnya, pada masa pendudukan jepang di Indonesia, Sultan Hamid.II,juga ditahan oleh jepang sebagai tawanan perang, setelah  pertempuran dengan jepang di Balikpapan, dalam kondisi terluka, diungsikan ke Surabaya, kemudian Ke Malang, sebelum ditangkap Jepang, dan ditahan di Batavia, Jakarta sekarang. Beliau memang perwira Belanda, lulusan akademi militer Belanda, di Breda.

Persoalanya adalah, Bisakah seseorang dihukum hanya karena niatnya?

Dalam kasus Sultan Hamid.II, banyak kemiripan yang terjadi dengan film “Minority Report “ yang saya ceritakan diatas tadi.  Meskipun Mahkamah Agung tidak sanggup membuktikan keterlibatan beliau secara langsung, sebab sampai akhir sidang, pelaku yang dikaitkan dengan keterlibatan  beliau, bekas anak buah beliau di KNIL, tentara belanda, yang melakukan gerakan perlawanan di Pasundan, sekarang Provinsi Jawa barat, yaitu Mr. Raymond Westerling,  tidak hadir sebagai saksi?

Sultan Hamid.II, adalah korban minority Report,

Jauh sebelum holywood membuat film itu, ternyata, kita sudah membuat film yang jauh lebih bagus, dengan pembusukan seorang anak bangsa yang memiliki intelektualitas, ide, pemikiran, dan pendidikan akademik serta kemampuan diplomasi setara dengan “Founding Father”  Bapak – bapak bangsa pendiri negeri ini.

Sultan Hamid.II, adalah Kolega dekat Almarhum President Sukarno, Mohammad Hatta, Mr.Muhammad yamin, Sri Sultan  Hamengku Buwono , ( adalah temannya sejak kecil ),  Ide Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, dan nama besar lainya, sebagaimana tertulis dalam buku sejarah Indonesia,  dan dibaca oleh anak sekolah dasar hingga perguruan tinggi hari ini, tentu saja,  minus nama Sultan Hamid.II

Sepanjang hidupnya, hingga akhir hayatnya,Sultan Hamid.II, di cap dengan stigma negatife, tidak sampai disitu, bahkan hasil karya intelektualnya, berupa perancang lambang Negara  : Elang Rajawali – Garuda Pancasila “ pun tidak diakui hingga hari ini. 

Seperti Wr. Supratman sang Pencipta Lagu Indonesia Raya, dan Ibu Fatmawati, istri  President Sukarno, sang penjahit Bendera Pusaka, Sang saka, Merah Putih, maka Sudah selayaknya, Sultan Hamid.II, disandingkan namanya dengan mereka, sebagai perancang lambang Negara,: Elang Rajawali – Garuda Pancasila, agar bangsa ini menjadi sempurna dan lengkap.

Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai Pahlawanya,


 Jas Merah,: jangan lupakan sejarah, itulah pesan Bung Karno, Proklamator Negara ini. Bapak Bangsa yang sangat kita hormati.

 Sudah waktunya kita menuliskan sejarah apa adanya, tanpa tendensi, tanpa menghakimi, tanpa aliansi, tanpa prasangka, tanpa stigma.

Sudah saatnya kita jujur, setelah 68 tahun kemerdekaan ini kita nikmati, mereka yang telah mengorbankan waktu, tenaga, fikiran, diasingkan, dibuang, dihina, dicaci maki, dulunya, pada masa perjuangan, pada masa transisi, selayaknya didudukkan pada tempatnya, pada porsinya sekarang ini.

Kita bukanlah Belanda, Jepang atau Inggris, mereka yang dulunya adalah penjajah bangsa kita. Mereka melihat pejuang kita, pahlawan kita, syuhada kita,sebagai pembelot, pemberontak, pelaku makar,  menurut hukum mereka,yang mereka buat guna kelanggengan kepentingan pendudukan mereka, sebagai Penjajah.

Sedikit banyak, Sultan Hamid.II, juga merupakan korban masa transisi Negara kita, dimana Undang-Undang yang digunakan menjerat beliau,  adalah undang –undang buatan Belanda, yang ditulis dalam bahasa Belanda, kemudian disadur menjadi KUHP, Kitab Undang-undang Hukum  Pidana,  dan digunakan oleh Bangsa kita, untuk mengadili “Bangsa Kita Sendiri”. Tentu saja sudut pandang hukum yang tertuang tidak sepenuhnya dapat dipakai dan diterapkan untuk bangsa ini.

 Dimana Negara kita bukanlah Negara Belanda,-yang membuat undang –undang itu,-demi kepentingan fasisnya, demi kepentingan kelanggengan penjajahanya, demi kepentingan legitimasi perampokan hasil bumi, alam, terutama rempah-rempah yang menjadi  komoditi utama  VOC, dibumi pertiwi ini. Kita semua membenci penjajahan, Pembukaan Undang-Undang Dasar kita dengan tegas menyebutkan, - Dan oleh sebab itu, maka penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan,- tapi ironisnya, kita menggunakan aturan hukum mereka, untuk mengadili bangsa sendiri. Anak bangsa sendiri. putra pertiwi,yang mencintai negeri tanah tumpah darahnya ini, dengan segenap jiwa raga dan kesadaranya.

Kesultanan Kadriah sudah ada dan eksis, jauh sebelum Negara Republik ini hadir.

Ketika Peluru meriam pertama kali ditembakkan, pada: 23 Oktober 1771, sebagai tanda dibukanya hutan rimba Kalimantan Barat, oleh nenek moyang Sultan Hamid.II,- yaitu : Sultan Abdurrahman ibni Almarhum Habib Husein Alqadrie,- pembuka hutan yang kemudian berkembang menjadi kota Pontianak sekarang ini,-

Kesultanan Kadriah telah menjalin hubungan baik dengan semua pihak, di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, kecuali dengan VOC, pada masa awal berdirinya kesultanan ini. Dimata VOC, Abdurrahman adalah Perompak, bajak sungai, yang banyak menenggelamkan kapal-kapal mereka dimalam hari, ketika melakukan pelayaran diseputar perairan Kalimantan umumnya, dan sungai Kapuas khususnya. Jika ada anak bangsa yang melihat Sultan Abdurrahman dengan cara ini, maka bisa dipastikan, sudut pandang yang digunakan terbalik.

Sudut pandang kita adalah, apa yang dilakukan oleh Sultan Abdurrahman,dkk, pada masa itu adalah tindakan heroic, bagaimana anak bangsa yang mencoba melawan hegemony bangsa penjajah, yang mengeruk kekayaan alam negerinya.

Sebagaimana Si Pitung di tanah Betawi,  Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa,  Sultan Hasanuddin di sulawesi,  Cut Nyak dien,  tengku Umar , Cut Meu tia, di Aceh, Patimura di Ambon, dll, itulah yang dilakukan oleh Sultan Abdurrahman. Melawan penjajahan dengan cara menenggelamkan kapal –kapal dagang VOC, yang sarat berisi muatan rempah rempah, berupa: lada, kopi, dan hasil bumi lainya.

Sultan Syarif Abdurrahman adalah menantu dari Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, yang menikahi putri Utin Candramidi, istri pertamanya.  Ayahnya adalah Mufti Kerajaan Mempawah sampai akhir hayatnya, beliau yang bergelar Habib Husein tuan Besar Mempawah, Makamnya sekitar 68 Km sebelah utara kota Pontianak,  sekarang ini.

Kesultanan Kadriah adalah kerajaan yang bermartabat,

terhormat,dan disegani oleh kerajaan lain pada zamannya,- ,jika saja sultan Hamid.II, mau menerima tawaran Bergabung dengan kerajaan Brunei, atau jika saja beliau menerima tawaran Kerajaan Sarawak, ( Kuching, Malaysia timur, sekarang) yang nota bene memang satu tanah , satu daratan, satu rumpun , satu budaya,  dan banyak sekali ditemukan diantara mereka masih merupakan kerabat dekat, dari satu nenek moyang yang sama, satu garis keturunan, -mungkin sejarah bangsa kita akan ditulis dengan warna berbeda.  Provinsi Kalimantan Barat tidak akan masuk peta wilayah Negara kita, tapi masuk peta wilayah Kerajaan Brunei Darussalam, atau masuk peta wilayah Persekutuan Negara Malaysia. Sebagaimana Sarawak sekarang ini, yang menjadi Negara  bagian Malaysia timur.,

Sultan hamid.II, atas nama nasionalismenya

atas nama kecintaanya kepada bangsa  ini, menolak tawaran tersebut. Dan beliau memilih ikut memperjuangkan kemerdekaan bagi negri ini, dengan aktif berdiplomasi kedalam dan keluar negeri, hingga tercapainya kesepakatan Meja Bundar, di Denhaag, negeri Belanda, yang secara tegas, mengakui kemerdekaan Indonesia, meskipun masih dalam bentuk Negara Federasi, bukan Negara kesatuan seperti yang kita nikmati sekarang ini.

Itulah kisah hidup, itulah sejarah seorang anak bangsa, Sultan Hamid.II, namanya.

Kita adalah bangsa Indonesia, bangsa yang  besar, bangsa yang dihormati oleh dunia. Kita adalah bangsa yang mayoritas memeluk agama islam, dan agama kita mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, Mengampuni dan sikap welas asih adalah nafas agama kita. Kita adalah ummat Muhammad, Rasul terakhir, yang “Rahmatan lil alamiiin”

Kita  tidak mungkin memutar balik sejarah yang sudah terjadi, tapi kita jangan sampai memutar balik, mengkaburkan, fakta sejarah yang ditulis dengan keringat dan darah para pahlawan kita. Dan satu hal lagi, jangan sampai kita berlaku dzalim, dengan mengakui apa yang bukan menjadi hak kita, dan sebaliknya,tidak mengakui, apa yang menjadi hak orang lain.

 Dalam kasus Sultan Hamid.II, adalah hak anak cucunya, hak  kerabatnya, hak ahli warisnya, dan hak kesultanannya, serta hak rakyatnya,  untuk mendapatkan Pemulihan nama baik rajanya, sultannya, pemimpin mereka yang sangat mereka cintai dan hormati, adalah hak mereka untuk mendapatkan pengakuan yang layak,  mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya kepada Negara, dan sumbangsihnya yang tak ternilai dengan merancang lambang Negara : Garuda pancasila, -,yang dimenangkan nya secara legal dalam suatu sanyembara nasional yang dilaksanakan oleh Negara pada waktu itu,- yang kita pajang dan kita tatap dengan bangga hari ini.

Jangan sampai kita mewariskan sejarah yang bengkok,

kepada generasi muda, anak-anak kita, cucu-cucu kita, yang pada giliranya nanti, merekalah yang akan menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini.

Kita tidak mau, mereka nantinya kecewa, bahwa kita, generasi yang ada sekarang ini, yang mengajarkan kejujuran , mengajarkan kelurusan, mengajarkan anti Korupsi, anti penindasan, anti kezaliman, ternyata, dikemudian hari, kita termasuk yang tidak jujur dalam perlakuan kita, terhadap sosok anak bangsa, yang hingga hari ini, masih terkubur dalam lembaran hitam sejarah bangsanya.

Padahal, masa revolusi  sudah lewat, jaman orde lama sudah tumbang, orde  baru sudah runtuh, Reformasi  sudah lima belas tahun umurnya, dan Undang- Undang Dasar kita sudah di amandemen dua kali, Indonesia sudah merdeka, 68 tahun lamanya. Masihkah kita sebagai bangsa,:
” tak mampu meluruskan sejarah, dan memandang sesuatu secara obyektif?”

Mereka semua adalah manusia, bukan malaikat. Kesalahan yang mereka perbuat adalah bagian dari proses bangsa ini mencapai tujuannya,- Masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan Makmur dalam keadilan,- itulah cita cita pendiri bangsa kita. Itulah juga cita cita Sultan Hamid.II, Cuma mungkin cara bernegaranya,yang agak sedikit berbeda, Beliau memang tokoh Federalis sejati, yang mengusung faham berbeda dengan sebagian tokoh pendiri bangsa ini, akan tetapi, Seperti Pemimpin Besar lainya, sudah selayaknya kita memperlakukan pahlawan kita, dengan cara yang arif, santun, bijak, hormat, dan rasa terima kasih, yang sesuai porsinya, atas  peran mereka. 

 Mereka adalah orang tua kita, tanpa mereka, perjuangan mereka, mungkin kita sampai hari ini belum menikmati rasanya “ Hidup sebagai manusia merdeka,”

Mungkin sebagian dari kita, atau kerabat kita, saat ini, masih berada ditengah hutan di Burma, sebagai Romusha, pekerja paksa, yang gajinya adalah cemeti, dan pensiunnya adalah “mati”

Sebagai orang tua kita, mungkin mereka pernah berbuat salah, adalah kewajiban kita untuk memaafkan mereka, karna kita adalah anak – anak bangsa, anak-anak negeri, adalah kewajiban kita berbakti kepada orang tua,

 Sebagaimana kita memaafkan kesalahan bapak – bapak bangsa kita yang lain, tak layakkah kita juga membuka pintu maaf bagi seorang Sultan Hamid.II,?

“Allahhummagfirli dzunubi, wali walidayya, warhamhumma , kama rabbayana shaghira,” (Ya allah, ampunilah dosa-dosa orang tua kami, kasihilah mereka, sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihi dan  menyayangi  kami pada waktu kecil)

Mungkin sebagai generasi yang hidup saat ini,  selayaknya kita semua meneriakkan satu kata yang sama, bagi salah seorang anak bangsa, yang mengalami malapetaka, diusianya yang masih sangat muda, 36 tahun, yang menghadapi trauma psikologis luar biasa, dimana Ayahnya, Ibunya, saudaranya, dan kerabatnya berjumlah tidak kurang dari 36 jiwa,  baru saja habis dibantai secara biadab oleh kekejaman fasis Jepang, dan jika sekiranya pada saat kejadian itu, ia ada di istananya, mungkin ia pun akan tinggal nama.

Hanya mujizat Allah yang menyelamatkanya, tentara jepang mungkin tidak mengetahui, bahwa perwira Belanda yang ditahannya di Batavia itu, adalah Putra dari : Sultan Syarif Muhammad Alqadrie,  Raja Kesultanan  Kadriah  Pontianak yang menjadi target penangkapan dan pembunuhan massal,: 21,000,- jiwa yang dikenal  dengan “Peristiwa Mandor Berdarah” di Kalimantan Barat .

Sultan Hamid.II, adalah korban” Minority Report,” 

atas  kesalahan niatnya, yang diakuinya secara jujur dan terbuka, didepan sidang Mahkamah Agung yang mengadilinya, dan kesalahan niatnya itu sudah ditebusnya, dengan menjalani hukuman kurungan selama,”sepuluh tahun penjara”sesuai vonis Mahkamah Agung, yang diterimanya dengan lapang dada.

Sekarang beliau sudah tiada. Beliau sudah pulang menghadap penciptanya. menemui orang tua dan kerabatnya yang telah lebih dulu menjadi korban “Kekejaman Manusia atas manusia”

Hal yang memang di prediksi ketika manusia pertama  diciptakan sebagaimana tercermin dari dialogh antara Allah sebagai sang pencipta, dengan para malaikatnya, di surga, ketika Adam pertama kali di perkenalkan.

Manusia memang mahluk ajaib, : “Ia mampu membumbung tinggi melebihi derajat para malaikat, dan ia juga sanggup merosot tajam, sampai lebih  hina dari binatang melata,”tentu saja pandangan ini dari sisi rohani,dan dengan penglihatan Allah atas diri kita, sebagaimana tertulis dalam kitab Nya.

Mungkin sekarang sudah waktunya,: kita semua, yang masih memiliki nurani dan jiwa , melepaskan diri dari segala tendensi, dan kepentingan, lalu berteriak  dengan lantang :

“Pulihkan nama baik Sultan Hamid,II. Segera, Secepatnya,!!”

“Kami hanyalah tulang -tulang yang berserakan,

Tapi adalah kepunyaanmu,

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan,

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,

Kemenangan dan harapan,

Atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata,

Kaulah sekarang yang berkata,

Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi,

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak,

Kenang-kenanglah kami,


( Chairil Anwar )

No comments:

Post a Comment