Tuhan di dalam Diri Kita
Posted in: Moral, Teologi & Filsafat
– July 14, 2012
Oleh: Ammar Fauzi Heryadi
Di dunia kita sekarang, kursi listrik sudah lama dikategorikan alat
siksa yang paling tidak manusiawi. Sebelum listrik ditemukan, orang akan
sulit membayangkan manusia terkejang-kejang, teriak secara bertahap dan
meronta-ronta lalu sekarat di atas kursi besi.Tanpa ampun lagi, Amerika dikecam dunia lantaran negara itu paling banyak memproduksi alat siksa tersebut. Konon dalam legenda Yunani Kuno, kita temukan padanannya pada ranjang siksa milik Procrustes, perampok yang beroperasi di antara Magaru dan Athena.
Untuk menghabisi korban, ia menidurkannya di atas ranjang tersebut untuk diukur sesuai panjangnya.
Nah, jika tubuh si korban lebih panjang dari ukuran ranjang, Procrustes akan memotong bagian kepala atau kakinya. Tapi bila lebih pendek, ia akan menarik dan menarik tubuhnya sampai seukuran ranjang itu.
Kursi listrik mungkin lebih mendekatkan bayangan kita dengan patung sapi yang dibuat raja Phalaris untuk menyiksa korbannya dengan memasukkannya ke dalam perut patung itu lalu membakarnya.
Boleh jadi ini tidak seberapa dibandingkan buku Serial Killers yang dihimpun oleh Joyce Robins dan Peter Arnold. Mereka bilang, bahwa inilah cerita nyata tentang para pembunuh yang paling biadab, hanya untuk membantu kita supaya lebih mudah membayangkan apa yang dilaporkan. Supaya lebih mudah membayangkan.
Sesudah itu, bisakah kita membayangkan yang lebih biadab? Bisakah kita secara lebih kejam mendekonstruksi dalam benak kita pemburuan Countess Elizabeth Bathory atas anak-anak gadis belia, membiarkan tubuh mereka sekarat, dikerat, dilubangi dan mati membusuk? Setelah kita menyaksikan penyiksaan Amerika atau Inggris di Guantenamo dan Abu Ghureib, bisakah kita menggubahnya secara lebih sadis lagi?
Sebaliknya dalam pembangunan peradaban yang maju, kebanyakan kita mungkin akan mengira orang jaman dulu akan terperangah setengah napas melihat keserbacanggihan dunia kita, persis saat para wartawan Olimpiade di Olympia terkagum-kagum menghitung kekayaan peradaban masa lampau; kadang digambarkan sebagai keajaiban yang sulit dijabarkan dengan ilmu modern, atau sebagai kehebatan membangun teknik akustik canggih di arena terbuka.
Lalu, bisakah kita membayang lebih wah lagi dari semua itu? Selaras dengan kata Bertrand Rassell bahwa hasrat manusia itu tak terbatas, daya bayang dan imajiner kita pun begitu liar bahkan melampaui hal-hal yang mustahil secara matematis.
Benar kata Sigmund Frued, daya bayang begitu kuat berperan dalam kerja-kerja inovatif, menciptakan keunikan dan keluarbiasaan. Daya bayang dan bayangan di benak ini pula pernah dipetik oleh Allamah Thabathabai dalam memberikan pendekatan intuitif, pendekatan lewat mata hati mengenai kaitan kita dengan Tuhan, yakni seerat kaitan kita dan khayalan yang kita bayangkan sendiri. Seakan ia hendak mendorong kita untuk memutuskan sendiri dengan melibatkan diri dalam pendekatan itu.
Andaikan saja! Kita bayangkan di benak kita sosok Bush; kita bisa apakan saja; mau kita karikaturkan seganjil mungkin, mau kita dewakan segagah mungkin, bahkan kita bisa pupuskan dari benak kita kapan saja kita mau. Maka, kita punya kekuasaan penuh atas bayangan yang kita bayangkan. Bayangan Bush itu tidak bisa keluar dari kendali jiwa dan kekuatan imajiner kita. Di hadapan ikhtiyar kita, ia tidak punya apa-apa, sama sekali. Ia tidak punya kuasa dan hak memutuskan sendiri serta berdiri mandiri. Saking tidak ada apa-apanya, ia bahkan tidak bisa menerima hak dan izin dari kita untuk mandiri.
Barangkali masing-masing kita tidak pernah membayangkan bahwa bayangan yang kita ciptakan di benak akan meludah saat kita gubah, akan melotot saat kita jungkirbalikkan. Sepertinya kita begitu yakin pada pengalaman sepanjang ini, bahwa apapun khalayan di benak kita selalu patuh dan pasrah mutlak di hadapan kehendak dan keinginan kita. Bukan keajaiban bila Bush di benak kita laksana adonan di tangan yang siap menerima segala bentuk.
Coba kita lepaskan imajinasi kita untuk membayangkan Bush yang ada di benak itu menggeliat sendiri apalagi bertingkah seperti dia di Irak, membayangkan Condoleezza Rice sendiri melipstik merah bibir hitamnya sebelum berstrategi di tengah aula khayalan kita, membayangkan Collin Powell sendiri joget di atas lantai bayangan kita, tentu akan amat menjengkelkan kita daripada kejengkelan ketua partai atas ngelamak seorang kadernya. Dalam keadaan ini, kita bisa mengambil keputusan menindak mereka lebih dari kekejaman terakhir yang pernah kita bayangkan.
Allamah Thabathabai hendak mengingatkan kita, bahwa Jika kita sebegitu hebat dan kuasanya memperlakukan, mendatangkan dan melenyapkan bayangan di benak, dan jika bayangan di benak ini sebegitu lemah dan bergantungnya pada jiwa kita, bagaimana besarnya kehebatan dan kekuasaan Allah atas diri kita? Bagaimana dahsyatnya kelemahan dan ketakapa-apaan wujud kita di hadapan-Nya? Dan bagaimana ketatnya kelekatan dan kebergantungan hakikat kita pada Dzat-Nya?
Akankah kita mengira-ngira diri kita lebih kurangnya sama dengan kepapaan bayangan di benak kita, ataukah malah lebih hina dan tidak berharga lagi? Salahkah bila filsuf kita memaknai wujud kita bukan sekedar salah satu dari dua sisi hubungan, tetapi hubungan ketergantungan itu sendiri yang tidak mungkin berdiri mandiri, lepas dan bebas dari kemahakuasaan-Nya?
Dan, bisakah kita bayangkan apa yang akan dilakukan Allah terhadap gejala protes yang kita coba tunjukkan? Tidakkah ngelamak-nya kita, kekurangajaran kita dan kekerdilan kita lebih tolol daripada bayangan kita pada kita sendiri? Kita yang kalaulah tidak lebih remeh dari bayangan Bush atau Powell di benak kita ini, ternyata bisa tidak pasrah mutlak dan begitu konyol meludah serta melotot di atas batas-batas Sang Pemilik Mutlak wujud kita.
Apakah tersisa sedikit hak kita di hadapan keperkasaan-Nya? Sejak kapan kita mulai bicara hak dan hidup sendiri? Sampai kapan kita bicara tanggung jawab-Nya? Di sinilah letak keajaiban satu makhluk bernama manusia yang zalim dan bodoh, yang berbuat di dalam kehadiran Tuhan Yang Akbar. Sebegitu bodohnya hingga terkadang atau terbiasa kita malah berprasangka buruk pada-Nya, berputus asa dari rahmat-Nya. Nabi saw. bersabda, “Hati adalah takhta Allah, di hadapan takhta Allah jangalah bermaksiat!”.
Toh, Allah masih membiarkan kita berumur, memberi kita karunia yang melimpah dari dunia-Nya, meluangkan kita berbuat sebebas kehendak yang dianugerahkan-Nya, dan tidak menuntut kita lebih dari sekedar insaf dan bertaubat.
Dalam rasa hancur kita, Dia meminta, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah”. Dalam rasa puas kita, Dia menyuruh, “Bersyukurlah dan jangan menyia-nyiakan!”.
Hafiz Syirazi bergazal:
Kunanti kelembutan hadirat-Mu,
meski durjanaku
kan kuharap ampunan-Mu
Belas kasih Allah ini barangkali malah membingungkan para malaikat, “Akankah Engkau angkat mereka sebagai khalifah-Mu di bumi sementara merekalah yang melakukan pembunuhan dan pengrusakan?!”.
Di sinilah letak keajaiban Sang Khaliq Yang Mahakasih Allah swt. Bagaimana Dia memperlakukan hamba-hamba-Nya, melebihi hasrat kasih seorang ibu pada timangannya.
Sepertinya, keterikatan hakikat diri kita pada wujud Tuhan tidak tunduk pada kategori bayangan. Saking ketat dan dahsyatnya keterikatan kita ini, begitu sulit kita dekonstruksikan dalam khayalan dan benak kita. Meski demikian, kita bisa menyaksikannya dengan sangat gamblang.
Kebejatan, kehinaan, kebusukan, kekurangajaran maksiat kita di atas arasy kekuasaan Allah memang bukan bayangan, juga kemurahan, keramahan, kasih sayang dan kelembutan-Nya membalas semua itu bukan pula bayangan, tetapi kenyataan yang bisa dihayati dan diresapi.
Dalam relung penghayatan itu, surga Allah adalah keindahan yang jauh lebih hebat dari sekedar mengkhayalkan kecanggihan teknik akustik di Olympia itu, dan neraka Allah adalah siksa yang jauh lebih nista dari kekejaman yang bisa kita bayangkan di penjara Abu Ghureib sana. Masih dalam relung itu, surga yang dibukakan benar-benar persembahan, bukan imbalan atas amal baik seorang hamba, dan neraka yang dijanjikan sungguh balasan yang tidak lebih besar dari maksiatnya.
Bagaimana manusia sesempurna Ali bin Abi Thalib itu meratap, “Ilahi, janganlah Engkau dudukkan aku di hadapan keadilan-Mu, namun perlakukan aku dengan kemurahan dan belas kasih-Mu”.
Maka, ada yang mesti kita luruskan yang di atas tadi, bahwa ada banyak kenyataan yang tidak tergubah oleh kekuatan khayal dan ke-liaran bayangan kita. Bahwa kita sungguh bisa melihat keperkasaan, kelembutan dan kasih sayang Allah.
Dalam Munajat Tiga Kata, Ali bin Abi Thalib memanjatkan, “Ilahi, betapa besar kemuliaan padaku saat aku menjadi hamba untuk-Mu. Ilahi, betapa besar kebanggaan padaku saat Engkau menjadi Tuhan untukku”.
Sebaliknya, kita pun bisa melihat ketakapa-apaan, kehinaan dan kekurangajaran kita di hadapan Allah. Dalam doa Kumail, Ali kembali membacakan untuk kita, “Duhai Tuanku, begitu banyak keburukan yang kulakukan…dan begitu banyak sanjungan indah yang bukan milikku namun Kau tebarkan”.
Kalaulah kita sudah putus asa terhadap penjabaran matematis kaum filsuf atas kenyataan itu, atau terhadap kiasan puitis kaum arif, sungguh kita masih bisa melihatnya dari dalam diri kita sendiri, secara lebih tajam.
Tidak dengan imajinasi, tidak dengan akal, tidak pula dengan kata-kata dan pengajaran. Dengan segenap tingkat keawaman, masing-masing kita menyimpan mata hati yang sanggup melakukan penghayatan sejernih mungkin. Bersama Imam Khomeini, mari kita ikrarkan, “Dunia ini adalah aula Tuhan, di dalam aula Tuhan janganlah bermaksiat!”.[]