Ke-sayyid-an, Berkah atau Beban?
Sejak
lama saya berencana untuk membahas masalah yang super sensitif ini.
Namun keterbatasan kemampuan terutama dalam forum umum, selalu
mengurungkannya. Namun niat itu kali ini sudah tidak terbendung lagi
karena beberapa faktor dan peristiwa, meski ditulis tanpa persiapan
(bahkan mungkin banyak ditemukan salah ketik), dan tidak didukung dengan
sumber-sumber yang memadai. Alasan utama keraguan saya untuk menulisnya
ialah bahwa tulisan ini hanya mengulas fenomena yang sangat khas dan
tidak umum.
Saya merasa terpanggil untuk membuka masalah ini karena beban
psikologis yang terus menghimpit dada saya dan orang-orang yang senasib
(baca: yang kejatuhan predikat ‘sayyid’) dengan saya.
Tanpa
berpretensi melakukan justifikasi, apologi dan pembelaan atau
memojokkan salah satu pihak, izinkan saya, Muhsin Labib (nama ini sejak
di Yapi tidak pernah bersanding dengan marga dan pasti tidak diawali
dengan kata sayyid, habib, syarif dan atribut-atribut sejenisnya
sebagaimana di Iran) memberikan sebuah analisis sederhana.
Kata
‘sayyid’ adalah bentuk kata kerja (ism fa’il) yang berasal dari kata
baku (mashdar) ‘siyadah’ atau kata kerja lampau ‘sada’ (dengan fathah
dan alif setelah huruf sin), berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin’.
Karena
penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi
atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga
dipanggil dengan predikat ‘sayyid’. Artinya, gelar ini bukanlah
semata-mata pengharagaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan
mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal
dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai
abdi dan pemandu umat.
Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka
terhadap derita umat, dan pantang dilayani apalagi minta disanjung.
Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena
kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.
Apabila
peran dan kontribusi nir-laba ini tidak lagi diberikannya, maka
seorang alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan ‘sang
pemimpin’ (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang alawi tidak menyandang
predikat ‘sayyid’.
Ke-alawi-an
(saya lebih suka menggunakan kata ini ketimbang ‘sayyid’) dapat pula
dilihat dari dua perspektif, yaitu ke-alawi-an biologis, dan ke-alawi-an
ideologis. Ke-alawi-an jenis pertama dan kedua bisa terhimpun dalam
satu sosok, seperti Imam Khomeini dan Hasan nasrullah, namun bisa juga
terpisah, sehingga tidak semua alawi biologis menyandang ke-alawi-an
ideologis, begitu pula sebaliknya.
Salman Farisi, sahabat yang berasal
dari ras non Arab, telah diangkat oleh sebagai ‘alawi ideologis’ dengan
sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami, Ahlul-Bait’. Hanya saja,
alawi ideologis (non biologis) tidak bisa diperalkaukan sama dengan
alawi bilogis dalam bidang fikih. Sebaliknya ‘sayyid’ yang
membenci mazhab Ahlubait dan menghahalkan darah para penganutnya adalah
‘Kan’an’ (miniatur dari putra Nabi Nuh as).
Dengan
persepsi yang luas ini, semestinya pendekotomian dan pengangakatan
isu-isu sensitif seputar kesayyidan dan ke-alawi-an tidak perlu
mendominasi ruang-ruang diskusi dan membuat kita lupa akan agenda-agenda
serta proyeksi dakwah ke depan.
Pesoalan
ini menjadi memalukan dan memilukan mana kala tendensi negatif menjadi
salah satu faktor di balik pewacanaannya.
Isu kesayyidan telah memakan
banyak korban dan menggerus militansi bahkan merenggangkan hubungan
emosional kepada para tokoh Ahlul-Bait apabila diungkapkan dengan diksi
yang sangat dangkal dan ambigu.
Harus
diakui, predikat ‘sayyid’ di kalangan komunitas Syiah di Indonesia
telah menjadi beban determinan. Bagaimana tidak, sering kali kesalahan
seseorang bisa ditimpakan atas sebuah predikat atau bahkan atas sebuah
keluarga besar dan argumentum ad hominem kerap menjadi senjata
yang sangat efektif. Bila itu terjadi, maka kesayyidan adalah bencana
karena diperlakukan sebagai dosa bersama.
Tidak
sedikit generasi alawi yang bermazhab Syiah di Indonesia yang cenderung
membenci kodrat diri sendiri (baca: kesayyidan yang diperoleh secara
determinan) demi menegaskan bahwa apabila sikap kritis alawi terhadap
prilaku sesama alawi lebih menjamin kebersihan dari b ias atau tendensi
negatif yang sangat kontra-produktif.
Saya sendiri dan beberapa teman
yang merasa sesak karena ‘ketiban’ kesayyidan, seperti Ali Shahab alias
Ben Sohib, dan Umar Baragbah alias Muawiyah bin Abu Gozok telah memulai
sebuah gerakan auto-kritik yang tidak kalah ‘pedas’ dibanding dengan
orang-orang yang tidak ketiban beban ini.
Apabila
kita jujur dan membuka hati kita selebar lapangan Senayan, maka kita
semua –baik yang ketiban maupun yang tidak- mesti berkesimpulan bahwa
kesyiahan meniscayakan kecintaan dan ketaatan kepada Nabi dan
keluarganya serta penghormatan kepada anak keturunannya.
Lalu
mengapa isu ini masih saja mencuat ke permukaan? Banyak faktor yang
mempengaruhinya. Salah satunya adalah lragam atarbelakang orientasi
keagamaan masyarakat Indonesia, termasuk tradisi dan pola interkasi
terhadap kominitas alawi yang berimplikasi terhadap intensitas yang
beragam menyangkut persoalan kesayyidan –sebelum mengenal mazhab Syiah- .
Tradisi dan pola penghormatan, yang sebagian irasional, terhadap alawi
di kalangan sunni trasdisional seperti NU, yang memiliki hubungan
historis dan emosional dengan para pendakwah dari Yaman, sangat berbeda
dengan pola perlakuan kaum pembaharuan, seperti Muhammadiyah dan
lainnya. Dua latar belakang orientasi keagamaan yang berbeda ini –akibat
proses konversi ke mazhab Syiah- bertemu dalam sebuah komunitas yang
masih baru di indonesia.
Terjadilah pergesekan kecil, dari sekadar
lontaran-lontaran gurau hingga meletus menjadi isu paling
kontraproduktif.
Komunitas
Syiah di indonesia, yang masih baru dan terdiri dari dua latar belakang
yang bersebarang ini, memang sedang berproses untuk menemukan
jatidirinya yang baru, bukan ala NU yang tradisionalis dan bukan pula
ala Muhammdiyah, bukan ala Iran yang berbeda dengan karakter indonesia,
dan bukan pula ala Irak yang tidak mirip dengan identitas Indonesia.
Persoalan
seputar taqlid, marja’iyah dan wilayah al-faqih juga tidak semestinya
dijadikan sebagai alasan untuk berlomba mencari kata yang paling efektif
untuk merawat kebencian dan menyuburkan rasa saling curiga. Menjadi
alawi (sayyid biologis) bukanlah pilihan. Dan karena ia bukan pilihan,
maka seseorang tidak layak dicemooh, didengki atau dijadikan sebagai
alasan untuk sombong dan pongah.
Sopir metromini yang ugal-ugalan tidak
patut dicemooh karena kebatakannya, namun layak ditegur karena caranya
mengemudi mobil. Ia tidak memilih menjadi sihombing atau Ginting.
Demikian pula orang yang berkulit hitam atau bertubuh pendek, tidak
layak dicemooh atau ditertawakan, karena itu bukanlah sesuatu yang
diperoleh karena kerja keras atau prestasi. Bila seorang alawi (sayyid)
melakukan perbuatan tercela, maka yang patut dicela bahkanb, bila perlu
dihukum mati, karena perbuatannya, buka karena kesayyidannya.
Setiap
alawi yang bermazhab Syiah pasti meyadari bahwa kesayyidan bukanlah
alat dongkrak kesombongan, apalagi memang sejauh ini perlakuan istimewa
itu tidak akan pernah didapat di tengah komunitas yang semi-NU dan
mantan Muhammadiyah ini. Tapi, apabila ia bukan anugerah dan bintang
jasa, setidaknya para non sayyid juga tidak menjadikannya sebagai jurus
mematikan setiap kali terjadi polemik. Kasarnya, kalau bukan anugerah
dan berkah, paling tidak, jangan jadi bencana.
Saya
yakin, para sayyid yang menganut mazhab Ahlul-Bait adalah orang-orang
yang telah rela untuk tidak mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana
bisa dinikmatinya bila tetap Sunni, terutama bila hidup di sentra-sentra
otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia. Kesyiahan
mereka semestinya dilihat dengan positive thinking sebagai dekalarasi
bahwa kesayyidan tanpa ketaatan kepada Nabi dan keluarganya adalah
bumerang.
Setiap
penganut mazhab Ahlul-Bait berpeluang untuk menjadi sayyid dan menjadi
salman Farisi dan Muhammad bin Abu Bakr. Setiap orang yang memegang
teguh tawalli dan tabarri adalah putra-putri Ali bin Abi Thalib.
Bila tulisan ini menyinggung dan mencederai perasaansiapapun, saya dari hati yang amat dalam memohon maaf sebesar-besarnya.
No comments:
Post a Comment