Sunday, October 30, 2011

Anatomi Filsafat Islam (2)

Anatomi Filsafat Islam (2)



Dr. Muhsin Labib
Hubungan dimensi-dimensi spiritual dan maknawi manusia dengan ilmu-ilmu filsafat lebih dekat ketimbang hubungannya dengan ilmu-ilmu alam. Bahkan, ilmu-ilmu alam berhubungkan dengan dimensi maknawi manusia melalui perantaraan ilmu-ilmu filsafat. Hubungan tersebut paling tampak dalam teologi, psikologi filosofis, dan etika. Demikian itu karena filsafat ketuhanan (teologi) memperkenalkan seseorang kepada Tuhan, Sang Mahabesar, berikut sifat-sifat keindahan dan keagungan-Nya, seraya mempersiapkan manusia untuk berhubungan dengan sumber pengetahuan, kekuasaan, dan keindahan tak berhingga.

Psikologi filosofis, menurut Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, memudahkan manusia untuk mengenali ruh berikut sifat-sifat dan ciri-cirinya serta menggugah kesadaran terhadap substansi (jawhar) kemanusiaan. Ia memperluas cakrawala seputar hakikat diri manusia, seraya mengajaknya melampaui alam fisik berdimensi spasio-temporal (ruang-waktu). Selain pula memasok pemahaman bahwa hidup manusia tidaklah terbatas dan terkungkung dalam bingkai kehidupan duniawi dan material yang serba sempit dan gelap. Etika dan akhlak menjabarkan pola-pola menyucikan dan menghiasi kalbu serta menggapai kebahagiaan abadi dan

kesempurnaan puncak.1
Dalam upaya mencecap semua pengetahuan tak terhingga itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menyarankan sejumlah masalah dalam epistemologi dan ontologi mestilah dipecahkan terlebih dahulu. Karena itu, menurutnya, filsafat pertama merupakan kunci perbendaharaan tak terhingga dan tak tertandingi yang menjajakan kebahagian dan keuntungan abadi itu. Itulah akar yang diberkahi dari “pohon yang baik”.
Selain itu, filsafat juga membantu manusia menghalau godaan was-was setan dan menampik gelenyar materialisme dan ateisme; menjaganya dari penyimpangan berpikir dan ragam jerat yang memerangkap; melindunginya dengan senjata pamungkas di arena adu gagasan dan membuatnya mampu membela pandangan-pandangan dan aliran-aliran yang benar, sekaligus menyerbu dan membidas pandangan-padangan dan aliran-aliran keliru, palsu, dan tidak sehat.2

Selain dengan unik berperan positif dan konstruktif, filsafat, menurut Muhammad Taqî Misbâh Yazdî juga punya peran tak tertandingi dalam hal pertahanan dan serangan. Pengaruhnya sungguh kuat dalam konteks penyebaran budaya Islam serta penggusuran budaya-budaya lawan.
Dari penjelasannya tentang subjek dan tujuan filsafat, penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Taqî Misbâh Yazdî berpandangan bahwa filsafat yang terutama adalah ontologi, dan yang terutama dalam ontologi adalah teologi, dan bahwa tujuan ultimumnya adalah pengenalan terhadap Kausa Prima, Tuhan.

Menurut penulis, sebagaimana pada kritik atas penentuan Muhammad Taqî Misbâh terhadap subjek dan pengertian filsafat dan subjek ontologi yang menyisakan tanda tanya, klarifikasi Muhammad Taqî Misbâh tentang isytirak lafzhi dan isytirak ma’nawi kata ‘wujud’ merupakan indikasi nyata ketidadisiplinan para filosof Muslim pada umumnya dalam menggunakan terminologi. Sedemikian rancu dan menimbulkan penafsiran ganda pengertian di balik kata “wujud” sehingga Muhammad Taqî Misbâh perlu membahas masalah ini secara panjang lebar.

Harus diakui, langkah dan inisiatif ini sangat berguna, namun pada saat yang sama, ini memberikan kesan bahwa sebagian polemik dalam literatur filsafat Islam boleh jadi diakibatkan oleh sengketa etimologis dan hermuentik, bukan filosofis.

No comments:

Post a Comment