Thursday, October 13, 2011

Pengetahuan Emosional (3)

Pengetahuan Emosional (3)

This entry is part 3 of 3 in the series Pengetahuan Emosional

Dr. Muhsin Labib
II. AT-TAHALLI
Tahap kedua yang harus dilewati oleh pencari pengetahuan emosional adalah at-tahalli immaterial ntra-sentra kebaikan spiritual atau melakukan at-tahalli. Jika seseorang keburu melakukan tahhali tanpa lebih dulu melakukan takhalli, maka ia laksana seseorang yang mengisi gelas kotor dengan air bersih. Itulah, sebabnya mengapa seseorang yang hanya berbuat baik namu tidak meninggalkan lawannya, yaitu perbuatan buruk, tak ubahnya tambal sulam atau mirip dengan orang yang mendaur ulang barang bekas, tidak mendapatkan surplus, ia hanya mendapatkan impas.
Menurut para ahli irfan nazhari, ada tiga sentra kebaikan spiritual yang merupakan induk semua kebaikan, yaitu Al-adl, Al-syukr, dan At-ta’ah.



1. Al-‘adl
Keadilan adalah salah satu syarat ketaqwaan yang merupakan inti iman.
اعدلوا هو اقرب للتقوى (Berlakulah adil, karena ia paling dekat dengan takwa).
Secara kebahasaan al-adl dapat diartikan sebagai keseimbangan. Secara keagamaan ia diartikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’. Kata al-adl dalam fiqh diganti dengan al-‘adalah, yaitu daya psikologis yang menolak perbuatan buruk dan mendorong perbuatan baik. Secara umum, keadilan, sebagai pasangan afirmatif kezaliman, dapat pula dibagi dua; keadilan intelektual (konseptual, teoritis) dan keadilan aktual.

Keadilan intelektual (al-‘adl al-fikri)
Keadilan intelektual adalah meletakkan keyakinan pada tempat yang benar salah atau meyakini sesuatu secara proporsional. Seseorang yang berani menyatakan sesuatu sebagai benar karena secara objektif memang benar atau salah secara, bukan karena pertimbangan subjektif dan tendensial lain adalah orang yang berlaku adil secara intelektual.
Keadilan intelektual dapat pula dibagi, berdasarkan nilai sesuatu yang diyakininya, sebagaimana kezaliman intelektual yang telah disebutkan sebelumnya.
Keadilan aktual (al-‘adl al-‘amali)
Keadilan aktual adalah meletakkan suatu perbuatan pada tempat yang layak. Apabila kita melakukan perbuatan baik atau yang layak dilakukan (fisikal maupun non fisikal), maka berarti kita telah berlaku adil secara faktual dan praktis dan perbuatan kita termasuk keadilan praktis. Keadilan aktual dapat pula dibagi dua, berdasarkan sasarannya;

1). Keadilan subjektif. Yaitu perbuatan sempurna terhadap diri sendiri. Menurut para irfan nazhari, seseorang yang melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Ia disebut adil karena memeperlakukan dirinya secara proporsional dan baik. Semua perbuatan baik, berdimensi legal dan berdimensi moral, adalah keadilan terhadap diri (pelaku sendiri). Seseorang yang berlaku dan bersikap adil terhadap diri akan berpeluang untuk berlaku adil terhadap selain dirinya.

2). Keadilan objektif. Yaitu perbuatan sempurna terhadap selain diri sendiri. Segala sesuatu di luar subjek atau diri kita masing-masing adalah alam yang dapat dibagi berdasarkan entitas-entitas (maujud-maujud) yang ada di dalamnya. Ia dapat dibagi sebagai berikut:
  1. Berlaku adil terhadap benda-benda molekuler, berupa air, batu dan gas atau oksigen, dengan cara tidak mencemari udara, tidak merusak sarana umum, tidak memproduksi peralatan berbahaya, senjata nuklir, kimia, bakteri dan sebagainya;
  2. Berlaku adil terhadap benda-benda berkembang, seperti rumput, pohon, buah dan rumput, dengan cara tidak melakukan penebangan liar, penggundulan hutan yang merupakan paku alam, merawat bunga dan sebagainya;
  3. Berlaku adil terhadap benda-benda berperasaan, dengan cara tidak melakukan perburuan liar, melindungi satwa langka dari kepunahan, tidak menggunakan alat pembunuh massal seperti bom untuk menangkap ikan, dan tidak membunuh binatang hanya untuk kesenangan dan hobi dan sebagainya sebagainya;
  4. Berlaku adil terhadap manusia, yang lazim disebut dengan keadilan sosial, dengan cara setiap anggota masyarakat melaksanakan kewajiban individual serta menjaga hak sesama dengan mematuhi syareat Allah SWT.
Sebenarnya keadilan objektif sosial dapat dibagi berdasarkan tingkatan himpunannya sebagai berikut : 1) Keadilan sosial dalam rumah tangga, seperti antara suami dan isteri, orang tua dan anak, antar orang tua dan antar anak sendiri; 2) Keadilan sosial dalam lingkungan kerja atau pabrik atau perusahaan, seperti antara majikan dan buruh, antara pimpinan dan pegawai, antar atasan dengan yang di bawahnya dan antar pegawai atau buruh sendiri; 3) Keadilan sosial dalam pemerintahan, seperti antara penguasa dan rakyat, antar pejabat tinggi dan yang di bawahnya, antar pejabat tinggi dan antar pegawai pemerintah sendiri, antar sesama individu rakyat sendiri.
Apabila kita telah berlaku adil dalam segala dimensinya, maka peluang kita untuk meraih pengetahuan emosional, yang merupakan puncak dari kesusksesan hakiki manusia, makin lebar. Apabila masing-masing dari individu masyarakat tidak berlaku adil, maka ‘keadilan sosial’ hanyalah sebuah jargon yang tidak akan pernah dapat dirasakan.

2.Al-syukr
Sentra kedua kebaikan spiritual yang merupakan salah satu elemen at-tahalli adalah Al-syukr.Syukr adalah ekspresi penghargaan yang tulus terhadap atas pemberian.
Al-syukr adalah lawan afirmatif dari al-kufr. Allah berfirman لئنن شكرتم لأزيد نّكم ولئن كفرتم انّ عذابى لشديد )Bila kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan buat kalian. Namun bila kalian berkufur, maka sesunguhnya siksa amatlah pedih).

Para ulama akhlaq membagi ekspresi syukur dalam beberapa tingkat sebagai berikut:
1) Syukur lisan. Yaitu penghargaan kepada pemberi melalui pengucapan terima kasih, alhamdulillah. Yang agak menggelikan ialah bahwa pada bulan Ramadhan kata-kata syukr itu telah dijadikan sebagai sarana kaum kapitalis sehingga sering diucapkan oleh para bintang iklan makanan dan lainnya di televisi. Syukr hanya dengan pengucapan tanpa ketulusan hati bukanlah syukur sejati;

2) Syukur tulisan. Yaitu penghargaan melalui tulisan. Yang juga menggelikan ialah bahwa tulisan berisikan kata syukur itu telah menjadi komoditas dagang berupa stiker yang ditempelkan di kaca mobil atau kaigrafi yang kerap dipajang dan dipamerkan di ruang tamu yang mewah seperti هذا من فضل ربّى (Ini adalah sebagian dari anugerah Tuhanku) atau وان تعدّوا نعمة الله لاتحصوها (Bila kau hitung kenikmatan dari Allah, maka kau tidak dapat menjumlahnya). Syukur dengan penulisan tanpa ketulusan hati bukanlah syukur sejati;

3) Syukur badan atau syukur praktis. Yaitu penghargaan melalui perbuatan fisik. Mengungkapkan syukur dengan perbuatan aktual lebih mengesankan bagi pemberi daripada syukur lisan dan tulisan. Syukr ketiga ini lebih mendekati definisi sebagian ulama akhlaq. Mereka mendefinsikan syukr sebagai penghargaan atas pemberian tertentu dengan cara tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak dan karakter pemberi hadiah tersebut sekaligus melakukan perbuatan yang sesuai dengannya. Syukur dengan ekspresi fisik tanpa ketulusan hati bukanlah syukur sejati. Syukur praktis dapat dibagi dua, yaitu:
  1. Syukur praktis aktif. Yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dan dianjurkan oleh pemberi anugerah;
  2. Syukur praktis pasif. Yaitu tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dibenci oleh pemberi anugerah.
Setiap pencari al-ma’rifah al-qalbiyah harus bersyukur dalam segala dimesinya, Namun yang terpenting ia harus bersyukur secara praktis baik aktif maupun pasif. Jika tidak bersyukur, maka kita tergolong dalam orang-orang yang berkufur. Seseorang yang kafir tidak akan pernah mendapatkan secuilpun pengetahuan emosional.

3. Al-tha’ah
Lawan afirmatif kefasikan adalah kepatuhan. Ia bisa menjadi positif apabila objeknya berhak ditaati, dan bisa menjadi negatif apabila objeknya tidak berhak ditaati. Allah SWT adalah satu-satunya yang memiliki hak untuk ditaati secara mutlak. Ketaatan kepada Rasul dan para imam suci adalah turunan dan cabang dari ketaatan kepadaNya. Sedangkan ketaatan kepada sesama manusia, kepada ayah, ibu, suami, majikan, atasan, penguasa, dan sebagainya menjadi positif dan terpuji apabila tidak bertentangan dengan hukum Allah. لاطاعة لمخلوق فى معصية الخالق (dilarang mematuhi manusia apabila perintahnya melanggar hukum Allah).
Kepatuhan positif dapat pula dibagi dua, berdasarkan bidang-bidangnya, menjadi dua;
  1. Ketaatan legal. Yaitu ketataan terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui wahyu dengan segala rincian tata caranya, seperti shalat, puasa dan sebagainya.
  2. Ketaatan moral. Yaitu ketaatan terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan ditanamkan langsung dalam fitrah manusia, seperti larangan bersikap dengki, sombong dan perintah untuk bersikap berani, optimis, menolong yang lemah dan sebagainya.
Seseorang yang belum mematuhi hukum-hukum Allah tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan emosional. Itu berarti ia tidak akan pernah merasakan kehadiran Tuhannya. Bulan suci Ramadhan adalah kesempatan emas untuk merasakan kehadiranNya dalam diri kita.

III. AT-TAJALLI
Bila tahap At-tahalli telah dilewati, maka berarti tahap berikutnya, At-tajalli ada di hadapan anda. Itulah puncak pengembaraan spiritual yang paling indah dan nikmat. Itulah tahap misteri penampakan. Itulah tahap ekstasi spiritual yang tak terlukiskan, Itulah taman indah tempat bermain jiwa-jiwa rebah urafa’.

Pengertian At-tajalli
Secara kebahasaan At-tajalli adalah penampakan sesuatu bukan karena sebelumnya terhalang. Karena itulah ia berbeda dengan al-kasyf yang berarti ketersingkapan. و النهار اذا تجلّى (Demi siang kala tampak) Par ahli irfan nazhari menggambarkan secara umum tahap tajalli sebagai tahap ketika zat mutlak Allah Al-Haq dan semua kesempurnaanNya nampakdan menyeruak. Adapun ilustrasi detail proses penampakan itu, para ahli irfan nazhari, memberikan penguraian yang berbeda-beda. Sebagian menganggap al-hulul sebagai proses penampakan. Sebagian lain menganggap al-ittihad sebagai prosesnya. Sedangkan sebagian lain At-tajafi.

Pembagian At-tajalli
Sebagian ahli irfan membagi At-tajalli dalam beberapa tahap sebagai berikut:
  1. At-tajalli al-ilmi al-I’tiqadi. Yaitu tahap penampakan konsep-konsep keyakinan yang terbatas -berupa hijab pikiran. Ini penampakan tak sejati.
  2. At-tajalli asy-syuhudi. Yaitu tahap penampakan Al-haq dalam entitas-entitas subjektif dan objektif –ketika busana selainNya telah lebih dulu dilucuti-. Sebagian menggambarkannya sebagai tahap penampakan Al-Haq berupa salinan muqayyad (terbatas, relatif) atau mutlak dalam forma (tampilan) segala maujud (entitas). Ini pempakan rendah.
  3. At-tajalli al-wujudi asy-syahadi. Yaitu tahap penampakan Al-Haq yang terefleksikan dalam ketetapan-ketetapan dan pengaruh serta jejak entitas-entitas. Penampakan kedua ini merupakan konsekuensi dari penampakan pertama. Ini penampakan medium.
  4. At-tajalli al-‘ilmi al-‘aini. Yaitu Yaitu tahap penampakan Al-Haq dalam forma pengetahuan tentang diriNya berupa forma entitas-entitas, potensi dan kapasitas-kapasitas. Kaum sufi menyebutnya dengan Al-faidh Al-Aqdas atau limpahan terkudus.
Identitas-identitas objek dalam At-tajalli
Sebagian ahli irfan menyebutkan empat tahap (maqam) dalam tajalli sejati sebagai berikut:
  1. Maqam al-wahidiyah. Yaitu penampakan zat Allah dengan segala sifat-sifatNya yang merupakan zatNya sendiri. Inilah maqam permulaan.
  2. Maqam al-inniyah. Yaitu penampakan dan kemanunggalan Al-Haq dalam kesempurnaan-kesempurnaanNya. Inilah maqam kedua.
  3. Maqam al-huwwiyah. Yaitu penampakan zat al-Haq dengan asma’ dan sifat-sifatNya. Zat Al-Haq dalam maqam ini lebih khusus daripada Allah.
  4. Maqam al-ahadiyah. Yaitu penampakan zat Al-Haq semata tanpa sifat maupun asma’Nya. Inilah maqam puncak.
Dunia Tajalli adalah dunia misterius yang amat luas. Ia tak akan pernah diungkap dengan uraian kata atau goresan tinta. Ia harus dimasuki dan dirasakan setelah menghancuran rezim-rezim nafsu dalam diri kita. Karena itu, ‘berlarilah kepada Allah’.

Sumber-sumber:
1. Mabani Al-Ma’rifah, 34-53,
2. Al-Futuhah al-Makkiyah, juz 3, hal. 440, Al-futuhat Al-makkiyah, juz 1, 289,
3. Fushusuh Al-Hikam, Syarh Al-Qaishari, hal. 175, 276, Fushush Al-Hikam , syarh Al-Afifi, hal. 90,
4. Tajalli wa Zohour dar Erfan, 178-179,
5. Asyi’ah Al-lama’at, hal. 16, 17, 113,
6. Al-Insan Al-Kamil, Al-jili, juz 1, hal. 42, 43, 72, 89-93,
7. Tamhid Al-Qawa’id, hal. 144,
8. Manazil Al-Sa’irin, Al-tilmasani, hal. 510.
9. Akhlaq Ahlil-Bait, 52

No comments:

Post a Comment