Teologi Lingkungan: “Hak Hidup”
Tadi dalam perjalanan pulang ke rumah, saya melihat tikus menggelepar-gelepar sekarat dengan bagian muka dan mulut hancur berdarah. Pelakunya sengaja melemparkan salah satu ciptaan Allah itu ke tengah jalan aspal dengan harapan agar ban mobil yang melintas segera mencabut hak hidupnya. Modus operandi demikian telah dihilangkan dari daftar kejahatan sejak beberapa tahun lalu terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Tikus yang berkembang biak secara alamiah karena sejumlah faktor, antara lain tumpukan sampah makanan mengandung zat pengembang dan lainnya, telah menjadi makhluk yang dianggap musuh musuh dan kehilangan hak untuk hidup.
Terus terang saya hampir menangis membayangkan derita yang mesti dirasakannya sesaat sebelum ada yang “berbaik hati” mengakhiri jeritan-jeritan paraunya dengan melindasnya. Saya menangis bukan karena merasa sangat baik atau sentimentil.
Saya yang baru saja dianugerahi Allah seorang putri mungil yang masih sangat bergantung kepada asupan dan sentuhan ibu, membayangkan betapa tikut betubuh besar itu adalah induk yang sedang mencari makan untuk diberikan kepada anak-anak yang baru dilahirkannya.
Betapa kebaradaannya sebagai tikus bukanlah pilihan eksistensialnya. Ia hanyalah salah satu dari pelengkap hunian alam hewani, yang apabila tidak diciptakan, maka Tuhan kehilangan satu-satu kemampuan-Nya. Ia harus hadir karena ia memang memiliki potensi untuk hadir.
Ia diciptakan untuk hidup dan menikmati jamuan anugerah alam, yang sebagian besar diperioritaskan untuk makhluk digdaya bernama “manusia”, meski sebagian besar melanggar “klausul kontrak” yang telah dibubuhi “tandatangan” dan mencontreng kolom “agree”-nya
. Sedangkan tikus, apalagi yang kerjanya menghabiskan sisa makanan manusia-manusia boros, menjalani kontrak kemakhlukannya secara konsisten, betapapun ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan objection.
Wawasan tentang teologi lingkungan yang pas-pasan dan indvidualisme yang membatu telah mereduksi sejumlah tema fikih sehingga kadang hukum agama dipahami hanya berlaku dalam domain hubungan antar sesama manusia, itu pun dengan kekurangan di sana sini dan penerapan yang compang camping.
Babi juga mengalami nasib yang sama.
Saat hukum haram memakannya ditetapkan oleh syariat Islam, maka sebagian memperluasnya dengan menganggapnya haram menikmati oksigen. Padahal babi hanya haram dimakan, tapi tidak otomatis halal atau bahkan wajib dibenci atau dibunuh, atau sesekali dijadikan sebagai objek adu ketangkasan berburu.
Memang benar, seluruh binatang boleh bahkan wajib dibunuh bila keberadaannya mengganggu ketenangan dan keamanan warga kelas satu bumi, manusia. Namun, kita mesti sadar bahwa semua perbuatan kita terutama bila bertautan dengan objek tertentu, manusia, hewan, tanaman dan semua yang ada di dunia, akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi pembunuh yang sadis! Ya Allah, tanamkan dalam hati kami kesadaran memahami hak hidup setiap makhlukmu, bumi, laut, udara, gunung, hutan dan semua ciptaanMu
No comments:
Post a Comment