Nabi Muhammad Manusia Biasa
Komen-komen yang banyak dan mencerahkan atas status saya tentang mediasi mengingatkan saya akan note di FB yang pernah saya tulis secara spontan saat menanggapi celoteh seorang tokoh Islam-liberal beberapa waktu lalu.Apakah Muhammad manusia biasa atau manusia luar biasa? Pertanyaan ini mungkin klise bagi sebagian orang, namun dua opsi ini masing-masing meniscayakan konsekuensi teologis yang sangat krusial.
Ada tiga asumsi menyikapi agama, menerima atau menolaknya.
Asumsi pertama: Pembawa agama dan penyampai wahyu Tuhan itu manusia biasa, yang berbuat salah dan kadang lupa. Karena itu, sebagian ajarannya tidak bisa mutlak diterima dan diterapkan, bahkan perlu dikoreksi dan diganti dengan pandangan-pandangan lain yang dinilai lebih logis dan relevan.
Premis I : Penyampai wahyu Tuhan dan pengawal adalah manusia biasa (tidak pasti benar karena lupa dan salah)
Premis II : Nabi adalah penyampai wahyu Tuhan
Premis II: Wahyu Tuhan adalah biasa (tidak pasti benar)
Karena agama yang dianutnya “biasa”, ia merasa perlu menyempurnakan, bongkar pasang dan merevisinya. Ini sangat bisa dimaklumi bila dilihat dari konteks dasar penerimaannya.
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menerima martabak biasa bahkan sangat biasa. Sambila menggerundel menambahkan garam, telur dan beberapa bahan utk bisa menikamtinya.
Asumsi kedua: Penyampai wahyu Tuhan dan pengawal agama adalah manusia biasa. Karena biasa (salah dan lupa), maka ajarannya biasa (salah dan lupa). Karena ajarannya (biasa) bisa salah dan lupa, maka ajaran Tuhan yang benar tidak bisa disampaikan. Karena tidak bisa disampaikan ke manusia, maka tidak ada agama yang bisa diterima.
Premis I : Wahyu Tuhan adalah biasa (tidak pasti)
Premis II: Sesuatu yang tidak pasti benar mesti ditolak
Premis II: Wahyu Tuhan mesti ditolak
Karena agama yang dianutnya ternyata tidak benar, maka ia pun meninggalkannya. Ini juga bisa dimaklumi bila melihat konteks dasar penerimaannya.
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menolak makan martabak yang sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasinya tentang martabak yang layak dimakan.
Asumsi ketiga: Pembawa dan penyampai wahyu bukanlah manusia biasa, karena manusia penyampai wahyu berbeda dengan manusia yang tidak menyampaikan wahyu. Apabila penyampai wahyu adalah manusia biasa (salah dan lupa), maka :
1) Manusia penyampai wahyu dan yang bukan penyampai wahyu adalah sama (lupa dan salah) (Ajaran Nabi tidak terjamin kebenarannya) (asumsi pertama).
2) Ajaran Tuhan tidak akan pernah sampai (asumsi kedua).
Padahal kita umat bergama dan umat Islam secara khusus telah menerima agama dan membenarkan wahyu yang disampaikan oleh manusia penyampai tersebut. Maka konsekuensinya adalah : penyampai wahyu pastilah manusia luar biasa (tidak lupa dan tidak salah) agar :
1) Ajaran Tuhan yang disampaikannya luar biasa (tidak salah dan tidak lupa)
2) Penyampain ajaran Tuhan adalah manusia luar biasa (tidak salah dan tidak lupa)
3) Ajarannya yang disampaikan mesti diterima dan diterapkan karena disampaikan oleh manusia yang tidak salah dan tidak lupa.
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menerima dan menikmati martabak luar biasa (spesial), dan tidak merasa perlu sibuk menambahkan bumbu atau lainnya apalagi minta dibuatkan martabak baru.
Yang menarik, adalah penganut “agama biasa” terbagi dalam dua kelompok yang terlihat sangat berseberangan.
Kelompok pertama, yang meyakini pengawal agama dan penyampai sebagai manusia biasa alias pasti berbuat salah dan lupa, menerima sepenuhnya “menu biasa” itu tanpa sedikitpun menolak atau paling tidak merevisinya agar menjadi “luar biasa”, karena memang tidak menyadari atau memang mengabaikan kritisisme. Lebih dari itu, kelompok ini menganjurkan semua kelompok untuk mengambil dan meniru pilihan menunya dengan mengerek bendera “back to origine” (alias kembali ke “salaf”).
Betapapun kenyataan menegaskan tidak semua hukum terjelaskan dalam teks al-Quran dan riwatar-riwayat Nabi, karena sejak berakhirnya masa pewahyuan dan pengawalan agama dengan wafatnya Muhammad saw, kelompok yang getol memasang atribut “salafi” ini tetap bersikukuh menganggap semua persoalan dan problema manusia baik individual maupun sosial telah dijelaskan hukumnya dalam teks al-Qur’an dan Sunnah. Kontradikisi demikian memang tidak menjadi beban psikologis dan tidak membuat mereka risih secara intelektual. Mengapa?
Sejak semula, tampaknya kelompok ini, terutama para pemukanya, menyadari akan adanya “celah” invaliditas ini. Karenanya, kelompok ini mengantisipasinya dengan menutup rapat celah kritisisme dengan mengharamkan logika dan meniru penegasan para pemuka Kristen yang menganggap iman sebagai kontra akal dan logika.
Tidak hanya betrhenti disitu, kelompok ini memunculkan sejumlah doktrin penunjang demi memproteksi AD/ARTnya dengan mengharamkan dan menyesatkan kelompok-kelompok lain, terutama yang cenderung rasional dan filosofis sebagai sesat, kafir dan sejumlah atribut2 lainnya yang dijadikan sebagai palu vonis melalui kampanye dan propaganda ekstensif dan sistematis.
Apa lacur? Karena terlanjur memposisikan logika dan rasio sebagai musuh nomer satu, kelompok ini menafsirkan teks-teks ayat dan ruwayat metofaris secara skriptural dan literal, terutama yang berkaitan dengan Tuhan. Jangan heran bila mereka menafsirkan “istawa ala al`arsy” sebagai “nongkrong di atas singgasana”. Selain tidak perlu diherankan, penafsiran mereka yang visual dan fisikal terhadap Tuhan tidak patut disalahkan, karena ia hanyalah konsekuensi dari sebuah pandangan fundamental, yaitu bahwa pengawal agama dan perantara Tuhan dengan manusia tidak lebih dari ordinary man.
Keganjilan masih berlanjut. Akibat dari pilihan nekad ini, sikap dan cara mereka menghadapi tema-tema mutakhir, teristimewa fenomena-fenomena modernitas, benar-benar menggelikan sekaligus menyeramkan. Karena kecanduan “visualisasi”, mereka menyatakan perang terhadap segala sesuatu yang bersifat esoterik, mistik, abstrak dan, tentu saja semua yang beraroma tasawuf. Siapapun yang menyimpan apresiasi terhadap tasawuf, apalagi menjadi member ordo atau tarekat akan dibungkus oleh kelompok “kacamata kuda” ini dalam karung “sesat” dan “bid’ah”.
Dan karena hampir selain mereka, dianggap teridentifikasi virus bid’ah, sesat dan syirik, harga darah kelompok lain di mata kelompok ini tidak terlalu mahal alias “biasa”. Kelompok ini dengan bekal “agama biasa” melakukan segala aksi pemusnahan, pembunuhan dan paling ramah, penyesatan, hanya dengan satu alasan amar makruf dan nahi munkar, yang lagi-lagi ditafsirkan secara “biasa”. Karenanya, pengkafiran sesama muslim pun menjadi kebiasaan. Ini semua karena “biasa”.
Kelompok kedua yang sejak semula menganggap pewarta wahyu sebagai manusia biasa yang berbuat salah dan lupa, menerima Islam sebagai “agama biasa”.
Pandangan ini memberinya justifikasi untuk melakukan bongkar pasang bahkan sesekali mengkritik dan, kadang, menggugatnya dengan nada sinis dan megejek. Karena tidak memiliki literatur yang cukup tentang kelompok-kelompok lain di luar lingkungan sosio-religiusnya, kelompok ini secara serampangan bersikap under-esitimate seraya menganggap Islam yang dianutnya secara temurun sebagai representasi dari “agama biasa”.
Dan karena itu, kelompok ini tidak pernah mengutip pandangan-pandangan kelompok lain. Paling-paling, yang sesekali dikutip adalah teologi Mu’tazilah dan para cendekiawan pembaharu di Mesir. Filosof yang selalu dikutip tanpa kedalaman adalah Farabi dan Ibnu Rusyd (meski keduanya bukanlah filosof secara definitif). Mereka benar-benar “kuper” soal sejarah dan dinamika filsafat di Iran dan benua Syiah. Tapi, karena dilontarkan di tengah masyarakat tradisional yang fakir informasi tentang filsafat dan rasionalisme Islam, tetap saja pandangan dan artikel-artikel mereka dianggap “baru” dan kontroversial.
Kelompok ini secara terbuka mengusung jargon “Islam Liberal”. Liberalisme semula adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Digunakanlah kata ini demi menegaskan pandangan yang menolak apa yang disebutnya dengan “sakralitas” atau “sakralisasi”, “kultus”, “otoritas teks” seraya mengumandangkan dekonstruksi, lokalisasi, dan kontekstualisasi sesuai dengan mainset pandangannya.
Gagasan-gagasan kritis kelompok ini hampir tidak pernah mengalami kemajuan. Setiap tokohnya hampir mengulang-ulang lontaran tentang isu-isu langganan, semacam kritik terhadap apa yang disebutnya “bias gender” dalam hukum waris, poligami dan semacamnya dalam teks-teks suci, al-Qur’an dan Hadis. Menurut Haidar Bagir, tak sulit untuk mencari dasar bagi prinsip-prinsip pemikiran tokoh-tokoh JIL, termasuk di dalamnya soal nilai penting prinsip-prinsip (moral) universal atau maqashid al-Syari’ah versus hukum-hukum yang bersifat partikular. Ringkasnya, tidak ada yang benar-benar fresh sebagai gagasan yang layak untuk menyita perhatian dunia.
Sebagian besar pengkritik, antara lain Haidar Bagir, mempersoalkan metdologi dan landasan epiostemologis yang digunakan kelompok ini.
Namun, selain berhadapan dengan masalah metodologi dan epistemologi, kelompok ini beramasalah secara teologis dan logis. Yang menjadi landasan utama pemikiran kelompok sebenarnya adalah pandangannya tentang kenabian dan Nabi yang dianggapnya sebagai “manusia biasa”. Salah satu tokoh kelompok ini mengatakan, “Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi, tanpa memandang aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Karena itu, menurutnya, Muhammad saw sebagai seorang politikus tidak harus ditiru kebijaksanaannya. Pandangan ini menjadi biang bagi seluruh gagasan-gagasan kritis yang menuai kontroversi.
Menurut kelompok ini, karena Muhammad adalah manusia biasa, maka ia tidak imun dari pengaruh di luar wahyu, dan karena itu, kebijaksanaannya selama di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.”
Bila dikaji lebih runut, sumber persoalannya adalah irasionalitas pandangannya tentang prinsip ketuhanan (teologi) dan keberadaan (ontologi). Harus diakui, meski umat Islam sama-sama meyakini Muhammad sebagai Nabi, namun landasan sikap dan keyakinan tentang prinsip ini tidaklah melulu sama, terutama dalam detail penjabarannya.
Dalam ranah teologi Islam, kita mungkin hanya mengenal “iman kepaada Nabi”. Padahal dalam literatur Islam yang di luar poros Mesir Sunni dan Saudi Wahabi (yang juga bisa disebut poros Islam Arab, bagi yang hendak mencari-cari latarbelakang demografisnya), ada yang memasukkan “iman kepada Nabi” sebagai bagian dari prinsip filosofis rasional “iman kepada kenabian”. Ini mungkin bisa disebut sebagai pandangan Islam poros Syiah plus representasi Islam non Arab.
(Penyebutan aspek etnis “Arab” dan “non Arab” kadang menjadi penting bagi kelompok ini karena isu “Islam lokal” yang selalu digemborkannya).
Kelompok ini, secara filosofis, menjelaskan “nabi” dan “kenabian” (an-nubuwah) sebagai dua entitas konseptual yang berbeda, meski menjurus kepada figur yang sama. “Iman kepada Nabi” tanpa didahului dengan “iman kepada kenabian” hanya akan mengarahkan pengiman kepada keterikatan personal.
Inilah yang bisa dianggap sebagai celah kritik pemujaan personal yang disebut dengan “kultus individu”. Menerima dan meyakini sebuah person dan figur sebagai Nabi, tanpa dilandasi dengan pandangan dunia Ketuhanan berikut sistem dan tujuan penciptaan, sangat rentan bagi munculnya kebingungan dalam menyikapi keputusannya baik sebagai pewarta wahyu maupun sebagai pemimpin.
No comments:
Post a Comment